Sektor Jasa Keuangan Stabil – Sektor Jasa Keuangan Stabil di Tengah Ketidakpastian Global. Otoritas Jasa Keuangan menilai sektor jasa keuangan terjaga stabil di tengah era tingginya tingkat suku bunga dalam jangka waktu lama atau higher for longer.
Stabilitas tersebut salah satunya ditunjukkan oleh industri perbankan yang tetap resilien dan mencatatkan pertumbuhan gemuk88 penyaluran kredit hingga Agustus 2023.
”Sektor jasa keuangan nasional terjaga stabil didukung permodalan yang kuat, kondisi likuiditas yang memadai, dan profil risiko yang terjaga sehingga meningkatkan optimisme bahwa sektor jasa keuangan mampu memitigasi risiko higher for longer suku bunga global,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar saat menyampaikan hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK September secara daring, Senin (9/10/2023).
Sebagaimana diketahui, tingginya tingkat inflasi dan masih solidnya kinerja perekonomian Amerika Serikat mendorong arah kebijakan The Fed menjadi lebih ketat (hawkish). Di sisi lain, pemulihan ekonomi di China yang masih di bawah ekspektasi dan kinerja ekonominya yang masih di level pandemi Covid-19 meningkatkan kekhawatiran bagi pemulihan perekonomian global.
Perkembangan tersebut, lanjut Mahendra, mendorong berlanjutnya kenaikan yield surat utang di AS dan penguatan nilai tukar mata uang dollar AS sehingga menyebabkan tekanan outflow dari pasar emerging markets, termasuk Indonesia. Adapun obligasi pemerintah AS atau US Treasury terus naik hingga berada di level 4,7 persen pada awal Oktober 2023 atau mencapai level tertinggi sejak tahun 2007.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menambahkan, OJK akan terus mencermati dampak kenaikan signifikan yield pasar surat utang terkini terhadap pasar keuangan domestik. Oleh sebab itu, lembaga jasa keuangan diminta terus memantau perkembangan portofolio investasi yang dimilikinya sebagai upaya menjaga ketahanan dan stabilitas sektor jasa keuangan ketika terjadi fluktuasi di pasar keuangan.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, kendati tertekan oleh kondisi global, sejauh ini sektor keuangan mampu menunjukkan resiliensinya. Namun, salah satu hal yang perlu diwaspadai justru nilai tukar rupiah yang terus tertekan akibat ketidakpastian global dan sentimen The Fed akan menaikkan suku bunganya lagi.
Bank Indonesia sudah melakukan berbagai intervensi, tetapi tampaknya nilai rupiah kita terus melemah.
”Ini perlu diwaspadai otoritas terkait agar melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah. Sejauh ini, Bank Indonesia sudah melakukan berbagai intervensi, tetapi tampaknya nilai rupiah kita terus melemah. Ini yang perlu diperhatikan agar nilai tukar rupiah dapat terjaga tetap stabil guna memitigasi risiko di sektor jasa keuangan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Perbankan resilien
Sebagai salah satu lembaga dalam sektor jasa keuangan, industri perbankan mampu menunjukkan resiliensi dengan permodalan yang solid dan didukung dengan risiko kredit yang terjaga di tengah tekanan suku bunga global yang tinggi dalam waktu lama. Solidnya permodalan tersebut tampak dari capital adequacy ratio (CAR) industri perbankan yang tinggi, yakni sebesar 27,66 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menjelaskan, risiko pasar relatif terjaga di tengah peningkatan dan fluktuasi tingkat imbal hasil surat utang AS. Hal ini tecermin dari posisi devisa neto (PDN) yang pada Agustus 2023 tercatat stabil rendah sebesar 1,72 persen atau jauh di bawah batas atas sebesar 20 persen.
”Peningkatan yield Surat Berharga Negara (SBN) diantisipasi sektor perbankan, antara lain, dengan memperpendek durasi SBN serta melakukan rebalancing jenis portofolio, baik yang bersifat held to maturity maupun available for sale, sehingga potensi kerugian dari perubahan nilai wajar surat berharga tidak mengganggu permodalan bank,” ujarnya.
Dian menambahkan, likuiditas perbankan pada Agustus 2023 juga berada dalam level yang memadai dan terjaga. Hal itu tampak dari tingkat rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) sebesar 118,50 persen atau di atas ambang batas minimum 50 persen dan alat likuid/dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 26,49 persen atau di atas batas minimum 10 persen.
Pada saat yang sama, pertumbuhan DPK pada Agustus 2023 tercatat sebesar 6,24 persen secara tahunan menjadi sebesar Rp 8.082 triliun.