Mengenang Tanri Abeng – Mengenang Tanri Abeng, BUMN, Profitisasi, dan Tantangan Depolitisasi. Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng (82) meninggal dunia di Jakarta pada Minggu (23/6/2024) dini hari.
Sebagai arsitek reformasi tata kelola https://www.performanceplusfl.com/ BUMN pada 1999, sejak lama ia mendorong agar korporasi BUMN Indonesia terberdayakan, lepas dari muatan politis, hingga menjadi pelaku ekonomi andal. Sayangnya, sampai sekarang, masih banyak tantangan dalam mewujudkan cita-cita itu.
Tanri masuk ke dalam pemerintahan dengan bekal amat matang. Rekam jejaknya sebagai eksekutif ulung tak perlu diragukan. Pada usia 37 tahun, tepatnya pada 1979, Tanri membenahi perusahaan minuman Heineken, hingga kemudian mengubah nama perusahaan menjadi PT Multi Bintang Indonesia. Pada awal 1990 an, ia pindah ke Kelompok Usaha Bakrie dan turut membuat perusahaan itu melesat.
Pada 1998, nama Tanri Abeng masuk dalam jajaran Kabinet Pembangunan VII era Presiden Soeharto, sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. Namun, pada 20 Mei 1998 atau sehari jelang Soeharto lengser, ia serta belasan menteri lain, menyatakan tak bersedia diikutsertakan dalam kabinet. Selanjutnya, ia menjadi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pengelola BUMN pada Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah Presiden BJ Habibie.
Tanri duduk sebagai menteri hanya sekitar setahun atau sampai berganti tongkat kepemimpinan pemerintahan ke Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, pada Oktober 1999. Padahal, ia telah memiliki program jangka panjang dalam membenahi BUMN di Indonesia, melalui cetak biru (blue print) peningkatan nilai BUMN lewat program restrukturisasi dan profitisasi.
Dalam tulisannya di Harian Kompas, 10 Oktober 2014, Tanri menyoroti tantangan dalam keberlanjutan program itu. Di antaranya karena dalam kurun 14 tahun sejak ia meninggalkan kursi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, terjadi tujuh kali pergantian menteri.
Ia menyebutkan, rencana induk (masterplan) BUMN yang dibuat pada 1999 berpola value creation melalui sectoral holding. Dalam masterplan itu, ditetapkan bahwa 2010 seharusnya tidak perlu ada lagi Kementerian BUMN karena perannya diganti Badan Pembina BUMN. Badan itu akan bekerja mempersiapkan pembentukan National Holding Company dengan 10 sectoral holding tahun 2015.
Apabila berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan, akan terbentuk Indonesia Incorporated dengan kapasitas, skala, dan jaringan yang mampu bersaing di tingkat global. Tanri meyakini, jika dijalankan, konsep tersebut akan membuat utang negara lunas. Bahkan, ada tambahan dari pajak dan dividen yang bisa memperkuat APBN hasil dari profitisasi.
Dalam sosialisasi Holding BUMN di Bandung, Jawa Barat, Senin (31/10/2011), Tanri menyampaikan bahwa tantangan utama BUMN ialah depolitisasi. Seharusnya, good corporate governance (GCG) dapat diimplementasi dengan baik tanpa campur tangan dan intervensi kekuatan politik. Itu juga menyangkut penempatan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) serta proses bisnis lainnya.
Tanri sempat menaruh harapan pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014. Dalam tulisannya di Kompas, ia mengusulkan pembentukan dan pemberdayaan lima sectoral holding yakni sektor energi dan pertambangan; perbankan dan jasa keuangan; transportasi, infrastruktur, dan telekomunikasi; agrobisnis dan industri pupuk; serta semen, konstruksi, dan engineering.
Terbagi dalam tiga tahap, ia menekankan semua sektoral holding yang dimaksud harus sudah terstruktur dan tersistem dengan pengelolaan secara profesional. Kemudian profitisasi dari lima sectoral holding dengan kepemilikan saham 100 persen pemerintah. Semua dilakukan hingga anak-anak perusahaan siap diprivatisasi. Upaya-upaya itu diyakini bisa membawa penerimaan bagi negara serta bisa melunasi utang negara.
Namun, ada tiga syarat agar peta jalan itu dapat dijalankan, yakni depolitisasi, debirokratisasi, dan de-link aset BUMN dari Undang-Undang Keuangan Negara. Menurutnya, BUMN harus terbebas dari pengaruh dan intervensi kekuatan serta kepentingan politik serta lincah dengan pendekatan entrepreneurial dalam operasinya. Adapun kekayaan negara yang dipisahkan nantinya tidak tunduk pada UU Keuangan Negara, melainkan UU Perseroan Terbatas.
Di era kepimpinan Presiden Joko Widodo, holdingisasi korporasi BUMN memang dijalankan pada sejumlah sektor. Namun, untuk benar-benar lepas dari muatan politis agaknya belum dilakukan dengan serius. Di sisi lain, praktik korupsi dan problem buruknya pengelolaan perusahaan BUMN masih mendera dan belum juga reda.
Catatan merah itu, dalam beberapa tahun terakhir antara lain terjadi pada sejumlah BUMN sektor asuransi, konstruksi/karya, serta pertambangan. Baru-baru ini, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan perusahaan BUMN di bidang farmasi terindikasi terlibat aktivitas fraud, mulai dari adanya transaksi fiktif, pinjaman online, hingga upaya ilegal untuk mempercantik laporan keuangan.
Kendati relatif singkat berada di pemerintahan, Tanri seakan tak pernah lelah untuk memberi kontribusi bagi kemajuan nasional. Ekonom senior pendiri Center of Reform on Economics (CORE), Hendri Saparini, Minggu mengatakan, pengalaman matang Tanri dalam mengelola korporasi, secara profesional, menjadi modal penting saat terlibat dalam birokrasi.
“Beliau masuk ke birokrat bukan kemudian terbawa dalam lingkungan birokrasi. Namun, berani melakukan perubahan. Membawa birokrasi yang mengelola bisnis harus bersikap atau bertindak dengan cara pandang bisnis. Setelahnya, ia juga menjadi akademisi. (Wafatnya Tanri Abeng) Ini sebuah kehilangan karena sampai lanjut usia pun beliau masih menularkan pengalaman serta pembelajaran penting,” ujar Hendri.