Potret Keresahan Kelas Menengah

Potret Keresahan Kelas Menengah - Potret Keresahan Kelas Menengah atas Kinerja Ekonomi Jokowi. Hasil survei Kompas mengenai tingkat kepuasan

Potret Keresahan Kelas Menengah – Potret Keresahan Kelas Menengah atas Kinerja Ekonomi Jokowi. Hasil survei Kompas mengenai tingkat kepuasan publik atas kinerja ekonomi pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menunjukkan dua potret persepsi.

Meski masyarakat kelas bawah mengaku signalgacor puas atas capaian pemerintah, tidak demikian halnya dengan kelas menengah dan atas. Semakin tinggi kelas sosial dan latar pendidikannya, semakin rendah persepsi kepuasan yang muncul.

Secara umum, berdasarkan hasil survei berkala periode Juni 2024, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Amin di bidang ekonomi mencapai 65,1 persen. Itu merupakan tingkat kepuasan tertinggi yang dicapai selama Jokowi-Amin menjabat atau dalam 4,5 tahun terakhir.

Namun, jika diperhatikan lebih detail, tingkat kepuasan publik itu tidak merata di seluruh kelas sosial-ekonomi dan tingkat pendidikan. Kelompok responden yang memiliki kepuasan tertinggi atas capaian ekonomi rezim Jokowi adalah kelas sosial-ekonomi bawah dengan tingkat kepuasan69,8 persen.

Sementara semakin tinggi kelas sosial-ekonominya, semakin rendah tingkat kepuasannya. Kelas menengah-bawah, misalnya, mencatat kepuasan 63,8 persen, menengah-atas 60,1 persen, dan kelas atas 52 persen.

Demikian pula jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya, responden dengan latar belakang pendidikan dasar mencatat kepuasan tertinggi (69,2 persen). Sementara responden pendidikan menengah 66 persen dan responden pendidikan tinggi bahkan 46,3 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin rendah kepuasannya atas capaian pemerintah.

Di sini, ada dua realitas ekonomi berbeda yang dirasakan masyarakat dari kelompok sosial-ekonomi bawah dan kelompok menengah-atas. Keduanya sama-sama valid. Namun, hasil survei itu semakin menegaskan potret keresahan masyarakat kelas menengah yang belakangan semakin banyak terdengar di ruang-ruang publik dan linimasa media sosial.

Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, berbagai gejolak ekonomi yang akhir-akhir ini muncul, seperti pelemahan nilai tukar rupiah, pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor-sektor padat karya, dan kenaikan harga kebutuhan pokok, memang lebih banyak dirasakan oleh kelompok menengah dan kelompok atas.

”Sementara kelompok bawah memang masih puas dengan kinerja ekonomi pemerintah karena negara hadir untuk kelompok ini dengan berbagai bantuan sosial yang ada sehingga berbagai gejolak ekonomi masih bisa teredam oleh bantuan sosial,” katanya, Sabtu (22/6/2024).

Keberpihakan pemerintah itu yang belum dirasakan kelompok menengah-atas yang berhadapan dengan berbagai gejolak ekonomi itu dalam keseharian. Tekanan itu hadir dalam bentuk harga kebutuhan pokok yang semakin mahal, cicilan kredit kendaraan bermotor dan pemilikan rumah (KPR) yang semakin berat, serta ancaman kehilangan pekerjaan dan upah.

Berbeda dengan kelompok bawah, mereka tidak mendapat bantuan atau kebijakan yang signifikan dari pemerintah untuk meredam persoalan ekonomi tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika persepsi kepuasan dari kelompok menengah dan atas jauh lebih rendah dibandingkan dengan persepsi kelompok bawah.

Pemerintah tidak boleh terlena dengan kepuasan tinggi yang didapat dari masyarakat bawah. Keresahan kelompok menengah-atas tidak bisa dianggap remeh. Apalagi, kelompok ini sering dikenal dengan ”tukang mengeluh profesional” atau professional complainer.

Mereka memiliki akses untuk bersuara di ruang-ruang publik. Berkaca dari pengalaman di sejumlah negara, seperti Chile, keresahan masyarakat kelas menengah yang merasa tidak diperhatikan pemerintah itu akhirnya menjadi api yang menyulut kerusuhan sosial.

”Jadi, indikator kepuasan kinerja ekonomi yang semakin menurun seiring meningkatnya status ekonomi ini menjadi sinyal atau alarm bagi pemerintah. Ini perlu dimitigasi dengan segera karena keresahan kelas menengah akan berpengaruh di pasar keuangan,” ucap Teguh.

Langkah mitigasi yang bisa dilakukan dalam waktu dekat untuk meredam keresahan itu, menurut Teguh, adalah menunda kebijakan yang bisa semakin membebani masyarakat kelas menengah. Misalnya, rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025.

Selain itu, membentuk sistem perlindungan sosial bersifat on-demand application agar masyarakat kelompok menengah yang jatuh menjadi kelompok rentan juga bisa mendaftarkan diri untuk mendapat bansos dari pemerintah.

Kebijakan lainnya adalah memberikan insentif kepada perusahaan sektor padat karya agar tidak melakukan PHK dan mampu merekrut karyawan baru. ”Berikan juga jaminan perlindungan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian untuk pekerja rentan di sektor informal agar kelompok informal rentan yang bukan miskin bisa bekerja tanpa cemas,” lanjut Teguh.

Kebijakan yang berpihak kepada kelas menengah juga semakin mendesak mengingat saat ini banyak masyarakat yang terdata sebagai kategori kelas menengah, tetapi masih hidup rentan. Jumlah masyarakat dengan status sosial-ekonomi yang serba tanggung seperti ini juga ditengarai semakin banyak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *