Publik Puas Kinerja Presiden – Publik Puas Kinerja Presiden Jokowi di Tengah Masalah Ekonomi. Survei Kompas memotret kepuasan publik terhadap kinerja ekonomi ada di titik tertinggi selama pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Akan tetapi, sejumlah direktur lembaga kajian ekonomi menilainya sebagai hal yang semu dan temporer.
Realitanya, masalah ekonomi yang belakangan ini muncul di berbagai lini masih menghantui. Persoalan link slot maxwin struktural seperti kemiskinan dan ketimpangan juga masih nyata.
Kepuasan publik itu tampak dari hasil survei berkala Kompas periode Juni 2024 yang menunjukkan, 65,1 persen responden mengaku puas atas kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Penilaian itu naik 4,3 persen dibandingkan periode survei sebelumnya pada Desember 2023, serta menjadi yang tertinggi selama pemerintahan Jokowi-Amin.
Jika dilihat berdasarkan kelas sosial-ekonomi, semakin rendah kelas sosial-ekonominya, semakin tinggi tingkat kepuasannya. Responden dari kelas sosial-ekonomi bawah, misalnya, mencatat tingkat kepuasan tertinggi di 69,8 persen, disusul responden menengah-bawah sebesar 63,8 persen, menengah-atas (60,1 persen), dan responden kelas atas (52 persen).
Pola serupa juga muncul jika tingkat kepuasan publik dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya. Responden dengan latar belakang pendidikan dasar mencatat tingkat kepuasan 69,2 persen, diikuti responden pendidikan menengah sebesar 66 persen, dan responden pendidikan tinggi sebesar 46,3 persen.
Kepuasan yang tinggi di tingkat akar rumput itu bertentangan dengan realita masalah ekonomi yang akhir-akhir ini membayangi di berbagai lini. Persepsi positif itu juga menunjukkan bahwa ekonomi, sepenting dan sebesar apa pun dampaknya bagi masyarakat, bisa menjadi isu yang elitis dan tercerabut dari keseharian masyarakat.
”Sebenarnya dari indikator ekonomi ada banyak problem yang cukup mengkhawatirkan. Hanya, bagi masyarakat, mereka tidak tahu dan tidak peduli juga soal utang pemerintah, pelemahan rupiah, pertumbuhan ekonomi. Yang penting apa yang ada di depan mata. Kebutuhan hidup tercukupi, ada bantuan dari pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Jumat (21/6/2024).
Selama kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat itu terpenuhi, mereka akan tetap puas terhadap kinerja pemerintah. ”Terlepas dari bantuan sosial (bansos) yang didapat itu dari mana, apakah ada motif politiknya atau tidak, apakah sumber dananya dari utang atau tidak. Ini memang kontradiktif, tetapi ini fakta yang ada di masyarakat kita,” ujarnya.
Peran bansos dalam membentuk persepsi masyarakat tentang ekonomi dan kesejahteraan sosial itu sangat signifikan. Survei Kompas mencatat, tingginya frekuensi masyarakat mendapat bansos di awal tahun menjadi alasan utama publik memberi citra positif terhadap pemerintahan Jokowi-Amin.
Dari rupiah hingga PHK
Pada kenyataannya, perkembangan sejumlah indikator ekonomi makro dan riil belakangan ini patut diwaspadai, meski belum sampai pada titik krisis. Dari sisi makro, nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar AS hingga menembus Rp 16.400 per dollar AS, level tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Dampak dari pelemahan rupiah ini bisa merambat ke berbagai aspek. Efek yang paling bisa dirasakan masyarakat adalah inflasi akibat impor (imported inflation) atau naiknya harga sejumlah barang dan jasa akibat kenaikan harga bahan baku asal impor dalam proses produksi. Ini termasuk bahan pangan yang sebagian masih diperoleh dari impor.
Pelemahan rupiah yang terus-menerus juga bisa mendorong naiknya tingkat suku bunga kredit sehingga dapat semakin membebani masyarakat yang memiliki cicilan kredit kendaraan bermotor dan kredit pemilikan rumah (KPR).
Indikator pembentuk ekonomi juga menunjukkan tanda mengkhawatirkan. Konsumsi masyarakat yang semestinya menopang pertumbuhan melemah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Maret 2024, konsumsi masyarakat hanya mampu tumbuh 4,91 persen secara tahunan, di bawah laju pertumbuhan ekonomi atau level normal 5 persen.
”Ada masalah dalam fondasi ekonomi kita selepas pemilu yang justru jadi melemah. Selain konsumsi rumah tangga, investasi juga. Keduanya tumbuh sangat lamban di bawah rata-rata historis,” kata Faisal.
Bukan hanya indikator makro, kondisi di sektor riil juga mengkhawatirkan, utamanya terkait isu ketenagakerjaan. Anak muda semakin sulit mencari pekerjaan akibat terbatasnya lapangan pekerjaan. Mengutip data BPS, pada 2023, ada 9,9 juta penduduk usia muda yang tidak sedang bekerja maupun belajar. Kebanyakan dari mereka adalah generasi Z yang berusia produktif.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya dan startup juga semakin banyak terjadi belakangan ini. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang Januari-Maret 2024, sudah terdapat 12.395 orang pekerja yang mengalami PHK. Jumlah ini terus meningkat seiring berjalannya waktu.