Siap-siap Ekonomi Biaya Tinggi pada 2024 – Indonesia berisiko menuju ekonomi biaya tinggi menyusul penguatan dollar AS dan komplikasi perekonomian global-domestik. Di tengah pelemahan rupiah yang cenderung berlanjut, Bank Indonesia dalam tekanan untuk menaikkan suku bunga acuan.
Namun, pilihan menaikkan suku bunga dari posisi 6 persen sebagaimana telah berlangsung sejak Oktober 2023 akan mengerem pertumbuhan ekonomi. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) digelar Selasa (23/4/2024) dan Rabu (24/4/2024). Pertemuan reguler ini kembali membahas tentang kebijakan moneter yang akan diambil BI untuk merespons situasi perekonomian global dan domestik yang makin tidak pasti.
Pada 19-20 Maret 2024, Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending asiahoki77 facility sebesar 6,75 persen.
Sinyal The Fed yang akan menunda penurunan suku bunga acuan di Amerika Serikat dari rencana awal mendorong penguatan dollar AS terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah. Selama enam hari perdagangan berturut-turut, rupiah berfluktuasi di atas Rp 16.000 per dollar AS.
Merujuk data Jakarta Interbank Spot Dollar (Jisdor) pada penutupan pasar, Selasa (23/4), rupiah kembali ditutup melemah di level Rp 16.244 per dollar AS atau terdepresiasi 20 basis poin dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya.
Mengutip CNBC, Wells Fargo Securities memperkirakan nilai tukar rupiah akan menuju Rp 16.500 per dollar AS seiring penundaan penurunan suku bunga oleh The Fed. Ahli strategi di Brown Brothers Harriman & Co bahkan memproyeksikan nilai tukar rupiah akan mencapai Rp 17.000 per dollar AS pada September 2024.
Ada pula faktor internal yang ikut memperlemah rupiah, yakni peningkatan permintaan valuta asing secara musiman setiap triwulan II. Permintaan musiman ini, antara lain, untuk pembayaran pokok utang, dividen, dan kupon ke nonresiden.
Penguatan dollar AS sekaligus pelemahan rupiah, berikut komplikasi perekonomian global, akan langsung berdampak pada perekonomian nasional. Berawal dari transmisinya pada sektor keuangan, persoalan ini akan meningkatkan beban biaya ekonomi nasional.
Biaya produksi sektor riil akan membengkak. Ini terutama akan dialami usaha yang mengimpor bahan baku dan bahan penolong. Situasi makin pelik jika utang untuk produksi dalam dollar AS, tetapi penjualan barang untuk pasar domestik.
Anggaran pemerintah juga akan tertekan. Anggaran subsidi dan kompensasi energi akan menggelembung. Sebab, sebagian kebutuhan energi domestik dipenuhi dari impor yang pembayarannya menggunakan dollar AS.
Ini bisa makin pelik jika sewaktu-waktu harga minyak mentah dunia meroket akibat eskalasi konflik di Timur Tengah sebagaimana sempat terjadi beberapa waktu lalu.
Biaya utang pemerintah dan swasta, terutama dalam dollar AS, juga akan meroket. Ini berlaku untuk penarikan utang baru ataupun pembayaran cicilan bunga utang.
Inflasi berisiko mendaki. Semuanya berujung pada ekonomi biaya tinggi. Akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih lambat lagi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 sebesar 5,05 persen, lebih rendah ketimbang pada 2022 sebesar 5,31 persen. Pada 2024, pemerintah menargetkan 5,2 persen. Dana Moneter Internasional pada Proyeksi Ekonomi Dunia per April memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,0 persen pada 2024 dan 5,1 persen pada 2025.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ketidakpastian di pasar keuangan global saat ini masih sangat tinggi dan dapat berubah drastis dengan cepat. Kondisi geopolitik di Timur Tengah dan antisipasi rilis beberapa data di AS yang akan memengaruhi kebijakan The Fed menjadi sangat penting dibahas dalam RDG BI pada 23-24 April 2024.
Jika kondisi global cenderung memburuk diiringi peningkatan permintaan terhadap instrumen investasi yang aman, Josua melanjutkan, akan ada aksi dari sebagian investor untuk menghindari risiko secara berkepanjangan. Ini akan membuat rupiah terus-menerus melemah sekalipun BI melakukan intervensi.
”Memang ada ruang bagi BI untuk menaikkan BI Rate. Kami melihat peningkatan BI Rate sebagai opsi terakhir BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (23/4/2024).