Tak banyak negara di dunia yang nasibnya seruwet Yaman. Terletak di ujung selatan Jazirah Arab, negeri yang dulunya dikenal sebagai Arabia Felix—tanah kebahagiaan—kini justru tenggelam dalam konflik saudara yang tampak tiada ujung. Ini bukan sekadar soal politik tinggi, melainkan juga tragedi kemanusiaan yang meluluhlantakkan kehidupan sehari-hari: dari harga roti yang melejit, hingga terampasnya hak anak-anak untuk belajar dan bertahan hidup.
Perang bermula pada 2014 saat kelompok Houthi, minoritas Zaidi Syiah, berhasil mengambil alih ibu kota Sanaa dan menyingkirkan pemerintahan sah. Arab Saudi kemudian memimpin koalisi negara-negara Arab dengan dalih memulihkan rezim terpilih. Akan tetapi, agenda regional dan rivalitas klasik antara Iran dan Saudi mengubah Yaman menjadi panggung bentrokan proxy, di mana rakyat sipil—bukan politikus—adalah pihak yang paling terluka. “Kami seolah-olah hanya bidak di papan catur besar Timur Tengah,” ujar seorang peneliti di International Crisis Group, Ahmad Al-Shehri.
Krisis Kemanusiaan: Realitas di Balik Angka
Organisasi seperti UNICEF dan World Food Programme menyebut Yaman sebagai salah satu krisis kemanusiaan terbesar saat ini. Hingga 2025, lebih dari 24 juta warga memerlukan bantuan. Akibat perang yang tak kunjung usai, sistem kesehatan hancur, pasokan makanan terhambat, serta ekonomi nasional tumbang.
Di Sanaa misalnya, rumah sakit kekurangan oksigen, antibiotik, bahkan air bersih. Amal Hassan, seorang relawan medis, pernah berkata kepada Al Jazeera, “Setiap harinya kami harus memilih siapa yang menerima infus terakhir. Rasanya seperti berjudi dengan nyawa.” Sementara itu, lebih dari setengah juta anak-anak mengalami malnutrisi akut, dan jutaan lainnya kehilangan akses pendidikan yang layak.
Kolonisasi Kelaparan dan Ketakutan
Di kamp pengungsian internal dari Marib hingga Aden, kelaparan seperti menjadi penguasa baru. Dalam laporan Human Rights Watch, seorang pengungsi bernama Nasir menuturkan, “Saya kehilangan empat anggota keluarga karena serangan udara. Kami hanya ingin tempat aman untuk tidur dan semangkuk nasi.” Cerita-cerita seperti ini menghantui banyak keluarga Yaman.
Kesehatan dan Kematian: Ancaman Berulang Kalau Perang Tak Kunjung Usai
Tidak cukup hanya perang, warga Yaman juga dihadapkan pada wabah kolera berulang. Médecins Sans Frontières melaporkan lebih dari satu juta kasus kolera dalam tiga tahun terakhir. Blokade di pelabuhan utama seperti Hodeidah memperburuk keadaan, menahan pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan ke negeri yang sudah ringkih ini.
Bahkan menurut Save The Children, satu dari lima anak Yaman sekarang berisiko meninggal sebelum ulang tahun kelima. “Yaman layaknya laboratorium penderitaan,” ujar pejabat UNICEF dalam konferensi pers tahun lalu. Potret anak-anak berperut buncit dan bermata kosong menghantam sisi kemanusiaan siapa pun yang masih peduli.
Studi Kasus: Sekolah-sekolah di Tengah Puing
Pendidikan di Yaman adalah korban senyap. Lebih dari 2.500 sekolah rusak atau berubah fungsi menjadi barak militer. Di distrik Al Hudaydah, para guru muda memilih mengajar di tenda seadanya, meski gaji mereka bertahun-tahun tak dibayar. Salah seorang guru, Fatima, mengatakan kepada BBC News, “Saya tidak bisa meninggalkan anak-anak ini. Di tangan mereka, harapan Yaman belum mati.”
Fatima hanyalah satu dari ribuan pejuang tanpa tanda jasa di seluruh negeri. Kisah para guru dan relawan lokal menjaga api semangat belajar menjadi pendar cahaya kecil yang barangkali kelak menyelamatkan generasi Yaman dari ketidaktahuan dan putus asa.
Pengaruh Regional dan Dilema Geopolitik
Tak bisa dilepaskan, pergumulan di Yaman turut dipanaskan oleh dinamika regional. Iran dituding mendukung Houthi, sementara Arab Saudi serta sekutu-sekutu Barat mendukung pemerintah yang digulingkan. Setiap perjanjian damai dan gencatan senjata seperti hanya pepesan kosong; usai satu babak kekerasan, babak baru hampir pasti dimulai.
Hingga tahun 2025, meski pembicaraan damai kerap digelar di Amman hingga Oman, solusi nyata masih sekadar janji. Bantuan datang tersendat, dan seperti yang diungkapkan seorang Duta Besar PBB, “Tanpa komitmen internasional yang sungguh-sungguh, Yaman hanya akan jadi catatan kaki suram sejarah Timur Tengah.”
Secercah Cahaya di Tengah Awan Gelap
Sedramatis dan seputus harapan apapun tragedi kemanusiaan Yaman, asa tetap mengendap. Gerakan warga, kolaborasi organisasi internasional, tekanan dunia maya—setiap aksi, sekecil apapun, menjadi amunisi melawan keputusasaan. Selama dunia tak menutup mata dan terus mengulurkan tangan, peluang bagi masa depan yang lebih baik bagi Yaman masih tetap hidup.
Dukung terus informasi dan berita aktual dengan mengunjungi Rajaburma88, sponsor utama artikel ini dan sumber inspirasi dunia game online.