Ketika Sudan Selatan memproklamasikan kemerdekaan dari Sudan tahun 2011, dunia berharap lahirnya babak baru untuk negeri termuda ini. Namun, kurun waktu nyaris lima belas tahun berikutnya justru menampilkan kenyataan yang kelam: keamanan yang nyaris mustahil terjamin, dan infrastruktur yang lebih mirip potret negara perang ketimbang bangsa merdeka.
Keamanan: Setiap Hari Adalah “Tolong Bertahan”
Sudan Selatan membentang lebih dari dua kali luas Pulau Jawa, tapi konflik tak punya perbatasan di sini. Data Human Rights Watch pada 2025 melaporkan, kekerasan antarkelompok dan serangan pada desa-desa masih marak. Para pengungsi—mayoritas perempuan dan anak-anak—berpindah dari satu kamp ke kamp lain demi bertahan hidup.
Menurut PBB, lebih dari dua juta jiwa mengungsi di dalam negeri, sementara lebih dua juta lagi keluar ke Uganda dan Ethiopia.
Insiden di wilayah Upper Nile pada 2023 menjadi cermin suram. Ratusan warga sipil tewas dalam bentrok bersenjata; sisanya hidup dalam traumatis. “Setiap pagi kami tak tahu apakah kami masih hidup hingga malam,” ungkap Ajak, guru di Malakal, dalam wawancara dengan BBC World Service.
Infrastruktur: Jalan Menuju Asa yang Buntu
Tulang punggung negeri ini tampak patah. Jalan raya dari ibu kota Juba ke kota lain? Saat musim hujan, berlumur lumpur; musim kemarau, kacaunya bukan main. Sekolah dan rumah sakit sepi alat, listrik tak pasti, air bersih masih mimpi di banyak desa.
Laporan World Bank 2024 mencatat: 80% penduduk pedesaan tak punya akses listrik layak. Mayoritas desa tetap mengandalkan pelita minyak tanah dan air sungai yang kadang tercemar limbah berbahaya. “Janji pembangunan banyak, tapi air bersih harus kami kejar sampai berkilometer,” kata Nyandeng, ibu muda di Rumbek pada Reuters.
Komunikasi pun compang-camping. Telepon sering terputus, dan sinyal internet hanya jadi kemewahan segelintir kelompok di Juba.
Studi Kasus: Proyek Jalan Nasional Juba-Bor yang Tak Pernah Tuntas
Sejak 2016, proyek jalan tol Juba-Bor digadang-gadang bakal jadi penghubung ekonomi. Tapi kenyataannya, jalur ini justru mandek gara-gara maraknya konflik dan korupsi. Tahun lalu, pembangunan sempat terhenti berminggu-minggu akibat serbuan kelompok bersenjata. “Bukan cuma pekerja yang mundur, banyak kontraktor akhirnya hengkang. Rugi bandar,” ungkap John Peter dari The Sudd Institute, organisasi riset tata ruang Sudan Selatan.
Perekonomian: Di Antara Minyak dan Keterpurukan
Sumber utama pendapatan Sudan Selatan: minyak mentah. Tapi lebih dari separuh rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem. Ketergantungan pada minyak bikin ekonomi ringkih ketika harga global jatuh—atau saat sumur-sumur terganggu konflik. IMF menyoroti, korupsi dan minimnya transparansi jadi parasit anggaran negara, memperlambat pemulihan ekonomi pasca-perang.
Ketersediaan pangan rawan. Ketergantungan musim panen sangat tinggi, sementara gagal panen akibat iklim ekstrem dan konflik lahan kian kerap terjadi. UNICEF mencatat, 7,7 juta jiwa, yakni dua pertiga populasi, mengalami kerawanan pangan akut pertengahan 2025.
Sekilas Harapan: Inisiatif Kecil yang Berjuang Melawan Arus
Di tengah arus pesimisme, setitik harapan tetap ada. Organisasi internasional mulai memperkenalkan panel surya dan edukasi digital ke desa-desa. Namun, upaya ini baru secuil dibanding gunung tantangan yang harus dihadapi.
Kunci keluar dari lingkaran setan ini jelas: perbaikan keamanan dan pembangunan infrastruktur, secara serentak, dengan dukungan transparansi dan dorongan komunitas internasional. Jalan itu panjang, tak mudah, tapi mustahil takkan berarti jika tak dicoba.
Ruang Hiburan Digital: Pelipur Lara di Tengah Krisis
Keterbatasan akses hiburan dan informasi membuat hiburan digital menjadi penyelamat baru. Salah satu platform online gaming yang kini digandrungi adalah Rajaburma88. Dengan kemudahan akses dan hiburan yang ramah pengguna, platform ini menghadirkan kesegaran di tengah tantangan yang dihadapi masyarakat Sudan Selatan.