Membongkar Lapisan-Lapisan Misteri di Jantung Sri Lanka
Hutan Sinharaja, yang terletak di barat daya Sri Lanka, adalah hutan hujan tropis terakhir dan terluas yang tersisa di negeri ini. Gelar “terakhir” bukan sekadar pelabelan dramatis, melainkan realitas pahit dari deforestasi yang terus terjadi di Asia Selatan. Ada yang menyebut Sinharaja sebagai laboratorium alam: di sinilah spesies-spesies endemik bertahan hidup, dari burung bulbul hingga pohon-pohon raksasa. Namun, kebesaran Hutan Sinharaja bukan hanya urusan statistik flora dan fauna; ia juga menyimpan relasi yang rumit antara manusia, ekonomi, serta politik konservasi, yang akhir-akhir ini semakin menguji komitmen Sri Lanka terhadap lingkungan hidup.
Jejak Sejarah: Di Balik ‘Keperawanannya’
Narasi populer menggambarkan Sinharaja sebagai kawasan nyaris tak tersentuh. Tetapi apalah arti “keperawanan” hutan di era modern ketika jejak manusia bahkan bisa jadi lebih tua daripada beberapa pohon yang tumbuh di sana? Data sejarah memperlihatkan bahwa komunitas agraris lokal telah lama memanfaatkan hasil hutan sebagai bagian dari strategi bertahan hidup. Namun, tekanan terbesar baru hadir seiring pemerintah membuka keran izin penebangan pada dekade 1970-an. Kebijakan ini sempat memicu penentangan besar-besaran dari masyarakat sipil dan peneliti — “Jika Sinharaja hilang, kita kehilangan warisan ekologis satu-satunya,” ujar Dr. Sarath Kotagama, ahli ekologi ternama Sri Lanka, dalam wawancara dengan The Island (2019).
Penolakan publik inilah yang kemudian mendorong UNESCO memasukkan Sinharaja sebagai Warisan Dunia pada 1988. Namun, bahkan status ini tak lantas menyelesaikan segalanya. Presiden Sri Lanka kala itu, Ranasinghe Premadasa, digambarkan oleh pengamat sebagai pragmatis: “Konservasi perlu sejalan dengan pembangunan, atau Sri Lanka tertinggal dari negara-negara ASEAN lain.” Pernyataan ini menyoroti perdebatan mendasar: Apakah perlindungan hutan harus mengorbankan laju ekonomi?
Studi Kasus: Timbal Balik Konservasi dan Kesejahteraan
Upaya konservasi sering dipuja, tapi ada biaya sosial-politik yang nyata. Komunitas desa sekitar Sinharaja, misal, kerap dipotret sebagai penjaga alam. Nyatanya, sebagian harus bersaing dengan institusi konservasi besar yang makin mempersempit ruang garap mereka. Kajian Liyanage dan Kotagama (2022) menunjukkan adanya polarisasi: “Konservasi sering kali berarti penggusuran terselubung. Kami diajak bicara, tapi jarang didengarkan,” ungkap seorang petani lokal dalam penelitian tersebut.
Contoh nyata dari ketegangan ini terjadi ketika pemerintah, bekerja sama dengan investor asing, hendak membangun eco-lodge pada 2021. Proyek ini akhirnya dibatalkan setelah gelombang protes yang menuding pemerintah menomorduakan aspirasi warga. Ironisnya, eco-tourism yang sering dipuja sebagai solusi hijau kadang hanya memutihkan wajah ekploitasi atas nama ekonomi berkelanjutan. Mungkin inilah yang disebut Dr. Amila Wijesinghe dari Universitas Kolombo, “lingkaran setan konservasi-tradisi”: demi menjaga hutan, rakyat akar rumput acap kali dikorbankan.
Fauna dan Flora: Kekayaan yang Rentan Kepunahan
Sinharaja boleh berbangga. Lebih dari 60% spesies pohon di hutan ini bersifat endemik, begitu pula 50% spesies mamalia. Misal, purple-faced langur dan Sri Lankan blue magpie — dua penghuni yang hanya ditemukan di pulau ini. Bahkan, penelitian terkini dari Biodiversity Secretariat (2023) menemukan populasi katak-hujan langka turun hampir 30% dalam sedekade terakhir akibat perusakan mikrohabitat. Jadi, semua jargon tentang “paradise lost” bukanlah histeria kosong belaka.
Data lain menyatakan, hanya 18.899 hektar kawasan inti Sinharaja yang benar-benar masih tutupan hutan primer. Angka ini jauh dari ideal, mengingat fragmentasi terus terjadi—sebagian karena aktivitas perambahan, sebagian lagi lantaran kebijakan negara yang ambigu antara perlindungan dan eksploitasi diam-diam.
Politik, Korupsi, dan Praktik Lapangan
Tak bisa dimungkiri, ketidakjelasan hukum dan celah birokrasi membuka peluang praktik gelap di sekitar Sinharaja. Laporan Environment Foundation Limited (2024) mengungkap bagaimana oknum pejabat daerah terkadang memberikan ‘izin lisan’ bagi perusahaan kecil untuk menebang pohon tertentu, dengan dalih “demi kebutuhan warga”. Praktik semacam ini, walau sulit dibuktikan secara hukum, memperlemah integritas sistem konservasi di Sri Lanka.
Bisakah Sinharaja bertahan dari serangan ekonomi-politik semacam ini? Banyak pihak skeptis, mengingat lemahnya sistem penegakan hukum. Namun, ada juga suara optimis, seperti dari organisasi non-profit Rainforest Protectors of Sri Lanka, yang sejak 2017 berhasil memulihkan 1.500 hektar lahan kritis melalui aksi komunitas.
Tantangan Ke Depan: Pilihan Jalan Tengah
Dilema abadi menghadang: di satu sisi, menjaga Sinharaja berarti menahan laju ekspansi ekonomi berbasis konsumsi lahan; di sisi lain, abai pada proteksi sama saja menyerahkan hutan hujan tropis terakhir Sri Lanka pada pusaran kehancuran. Maka, jalan keluar paling realistis adalah perumusan skema konservasi yang benar-benar demokratis dan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Akhirnya, masa depan Sinharaja bukan sekadar ada di tangan pemerintah atau LSM. Setiap kebijakan, dari edukasi lingkungan, insentif ekonomi bagi warga lokal, hingga keterbukaan data—semuanya harus transparan. “Sinharaja adalah cermin Sri Lanka sendiri: berlimpah, namun rawan pecah jika tidak dirawat bersama,” tutup Prof. Chandrika Anuradha dalam diskusinya dengan Sunday Observer (2023).
Artikel ini didukung oleh sponsor: Rajaburma88, platform tepercaya untuk para penggemar games online.