Sektor Listrik Cenderung Membesar – Subsidi dan Kompensasi di Sektor Listrik Cenderung Membesar. Reformasi tata kelola pasar ketenagalistrikan dinilai perlu dilihat secara lebih luas, sebagai bagian dari upaya menyehatkan beban keuangan negara. Pasalnya, saat ini, melalui subsidi dan kompensasi venetian89 pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), ketenagalistrikan masih sangat bergantung pada anggaran negara. Reformasi diperlukan guna mendapatkan harga listrik yang tepat serta sesuai keekonomian.
Secara umum, struktur pasar ketenagalistrikan di Indonesia diawali dari pembangkit listrik, kemudian transmisi serta distribusi kepada konsumen. Pada pembangkit listrik, selain pembangkit PLN, terdapat produsen listrik swasta (IPP) yang menjual listriknya ke PLN. Sementara dalam hal transmisi dan distribusi hanya ada pemain tunggal, yakni PLN (pasar monopoli).
Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Maxensius Tri Sambodo mengatakan, jika mencermati kondisi keuangan PLN pada 2021-2022, ada fenomena yang disebutnya sebagai sinyal bahaya. Porsi subsidi dan kompensasi dalam pendapatan penjualan PLN meningkat dari 20 persen pada 2021 menjadi 30 persen pada 2022. Ada indikasi PLN semakin bergantung pada anggaran negara.
”Penyesuaian tarif tenaga listrik juga tidak dilakukan beberapa tahun ini. Padahal, kita tahu, harga minyak naik, terjadi inflasi, dan lainnya. Saat negara sangat dominan terhadap neraca PLN, itu menunjukkan ada yang salah. Artinya, semua beban seolah-olah dibayar oleh tax payers,” ujar Max, panggilan Maxensius, dalam webinar terkait reformasi tata kelola pasar ketenagalistrikan yang digelar Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Kamis (16/5/2024).
Hal tersebut, dinilai Max, menjadi tidak adil dalam transisi energi, saat berbicara daerah lain yang membutuhkan transmisi, misalnya. Ia pun mengusulkan reformasi pasar kelistrikan sebagai strategi sharing burden (berbagi beban) karena banyak perusahaan ataupun individu yang memiliki kesediaan membayar (willingness to pay) tinggi, tetapi terbelenggu oleh sistem tarif. Kelompok-kelompok itu seharusnya dapat diakomodasi dalam satu proses reformasi pembangkitan listrik di Indonesia.
”Namun, sayangnya, kita belum melihat ruang-ruang itu. Juga kerap ada sentimen kalau reformasi (ketenagalistrikan) itu antinasionalis dan lainnya. Padahal, kita harus melihat bahwa reformasi ini dalam koridor menyehatkan beban negara, (diberikan) kepada kelompok-kelompok lain yang mempunyai willingness to pay lebih baik, untuk mendapat listrik yang lebih hijau,” kata Max.
Dosen Senior Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Widhyawan Prawiraatmadja menuturkan, reformasi sektor ketenagalistrikan perlu dilakukan agar ada harga yang tepat. Sebelum persoalan pasar, hal tersebut perlu dibenahi dulu. Harga batubara untuk PLTU PLN yang dipatok 70 dollar AS per ton melalui domestic market obligation (DMO), misalnya, yang menurut Widhyawan, tidak pas serta harus dibuka.
Namun, ia menekankan bahwa yang dilakukan PLN saat ini bukan kemauan PLN. ”Tapi dibentuk sedemikian rupa (dengan berbagai regulasi) sehingga akhirnya tidak sehat bagi semuanya. Apa pun bentuk regulasinya, reformasinya, suka tidak suka, PLN harus ada. Ujungnya, kita menginginkan institusi yang baik dengan insentif yang tepat,” kata Widhyawan.
Menurut Widhyawan, tanpa insentif yang tepat, yang bisa mengukur kinerja sesungguhnya, reformasi akan sulit terjadi. Perlu ada perubahan, misalnya dari revenue model, bisnis perusahaan, dan opportunity cost (biaya peluang) yang ditangani dengan pas. ”Nanti diberi kesempatan berbenah sehingga kita bisa punya sektor ketenagalistrikan yang lebih baik dan andal,” lanjutnya.
Pemisahan urusan transmisi
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pada 2000, reformasi sektor ketenagalistrikan juga banyak dibahas. Bahkan pernah muncul Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, tetapi kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Pengalaman tersebut juga memunculkan trauma.
Salah satu yang bisa dilakukan, katanya, ialah seperti di Jepang. ”Jadi, transmisinya dikeluarkan dari struktur (PLN). Apakah itu mau di seluruh sistem (kelistrikan) di Indonesia atau Jawa-Bali saja. Namun, tetap dipegang oleh BUMN agar tetap dikuasai oleh negara. Yang waktu itu jadi persoalan di MK, kan, karena tidak lagi dikuasai negara,” kata Fabby.
Yang juga perlu dibenahi, kata Fabby, adalah tarif listrik. Sebab, saat ini, tarif listrik diatur regulasi serta banyak beban yang ditanggung PLN. Tarif seharusnya merefleksikan biaya yang dikeluarkan serta memberi keuntungan yang wajar sehingga PLN pun bisa berinvestasi. Ia juga mendorong dibentuknya badan regulasi independen yang bisa mengawasi dengan optimal terkait kelistrikan di Indonesia.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menekankan, saat ini PLN tengah berubah dari sebelumnya menerapkan kultur tertutup menjadi transparan. ”Kami ingin membangun environment yang kondusif untuk investasi dan inovasi dengan spirit fairness (kewajaran). Kami ingin memastikan perencanaan investasi bisa sesuai dan commercially feasible (layak secara komersial),” ujarnya.