Di Balik Mahalnya UKT – Di Balik Mahalnya UKT, Pendidikan Tinggi Belum Jadi Prioritas di APBN. Fenomena mahalnya uang kuliah tunggal atau UKT menunjukkan minimnya perhatian pemerintah pada pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia.
Anggaran untuk pendidikan tinggi dalam APBN masih jauh dari ideal dan belum sesuai skala prioritas. Audit nexwin77 menyeluruh atas perencanaan dan penggunaan anggaran pendidikan kian mendesak.
Di atas kertas, alokasi anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya termasuk besar, yakni 20 persen dari total APBN. Anggaran pendidikan yang merupakan belanja wajib (mandatory spending) itu terus naik dari tahun ke tahun, sejalan dengan APBN yang terus meningkat.
Namun, anggaran yang besar itu belum menjawab persoalan tingginya biaya pendidikan di Indonesia, khususnya untuk jenjang pendidikan tinggi. Akhir-akhir ini muncul banyak keluhan tentang UKT yang membuat sebagian mahasiswa perguruan tinggi negeri menunggak pembayaran, terjerat pinjaman daring, dan tidak bisa meneruskan kuliah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Kamis (23/5/2024), mengatakan, isu mahalnya UKT itu mengungkap minimnya prioritas pemerintah dalam mengembangkan akses pendidikan tinggi. Hal itu tampak dari dua aspek, yakni besaran alokasi anggaran yang terlalu kecil serta penggunaan anggaran yang belum efektif.
Dari sisi besaran alokasi, anggaran untuk pendidikan tinggi hanya mencakup sekitar 0,6-1,6 persen dari APBN. Masih jauh dari standar ideal yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebesar 2 persen dari APBN.
Pada tahun 2024, dari total belanja negara Rp 3.325 triliun, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendapat alokasi Rp 56,1 triliun alias 1,6 persen dari total APBN.
Anggaran untuk pendidikan tinggi hanya mencakup sekitar 0,6-1,6 persen dari APBN.
Kemdikbudristek selaku garda terdepan pendidikan pun hanya mendapat total anggaran Rp 98,98 triliun atau 15 persen dari total anggaran pendidikan yang ada di APBN. Porsi terbesar dari belanja pendidikan itu (Rp 346,5 triliun atau 52 persen) dialokasikan untuk transfer ke daerah (TKD) dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
”Jadi, kecil sekali hitungannya. Tidak sebanding dengan 4.000 perguruan tinggi yang ada. Belum lagi untuk kebutuhan operasional kementerian, juga untuk kebutuhan lain dari penyelenggaraan pendidikan, riset, dan beasiswa,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Di tengah besaran alokasi yang minim, penggunaan anggaran pendidikan juga belum efektif dan sesuai skala prioritas. Ia mencontohkan, masih digunakannya anggaran pendidikan untuk pendidikan dan pelatihan aparatur sipil negara (ASN) serta porsi yang cukup besar untuk kebutuhan birokrasi dan administrasi di kementerian.
Di tengah anggaran yang minim itu, pada akhirnya banyak perguruan tinggi yang menggalang dana dari iuran mahasiswa alias UKT. ”Semakin minimnya alokasi anggaran untuk lembaga perguruan tinggi, semakin tinggi juga rate kenaikan UKT dari tahun ke tahun, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta,” ucap Faisal.
Tak berwenang
Isu anggaran ini turut menjadi sorotan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR mengenai polemik biaya UKT, Selasa (21/5/2024). Suharti menilai, tidak ada koordinasi terpusat mengenai anggaran pendidikan pada K/L.
Tidak ada kriteria atau standar kebijakan untuk memastikan alokasi anggaran pendidikan dihitung dengan mekanisme yang sama lintas kementerian. Bahkan, anggaran pendidikan masih saja dipakai untuk pendidikan kedinasan (untuk calon ASN dan ASN) meski hal itu sudah dilarang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut Suharti, Kemdikbudristek tidak punya peran dalam memutuskan alokasi anggaran pendidikan. Kewenangan itu milik Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Kementerian Keuangan.
Kemendikbudristek juga tidak bisa ikut campur memberikan masukan terkait penggunaan anggaran pendidikan yang tersebar di K/L lain. Padahal, alokasi anggaran pendidikan pada K/L lain terhitung besar, yakni Rp 142,4 triliun atau 21 persen dari total anggaran pendidikan.
Kemdikbudristek tidak punya peran dalam memutuskan alokasi anggaran pendidikan.
”Pada tahun 2022, kami sudah menginisiasi revisi peraturan pemerintah (PP) tentang pendanaan pendidikan yang mengamanatkan bahwa Kemendikbudristek dengan Bappenas dan Kemenkeu secara bersama menyetujui pengalokasian anggaran pendidikan. Namun, ini belum bisa dilaksanakan karena PP belum bisa dilakukan perubahannya,” kata Suharti.