Preferensi Belanja Konsumen – Disrupsi Rantai Pasok Ubah Preferensi Belanja Konsumen. Gangguan rantai pasok global baik akibat konflik geopolitik dan geoekonomi maupun dampak nexwin77 perubahan iklim telah berujung pada krisis biaya hidup. Krisis itu dialami mata rantai terakhir rantai pasok global, yakni konsumen.
Di kala isi dompet terbatas, preferensi konsumen bakal menjadi penentu laku atau tidaknya sebuah produk. Hal itu bakal menjadi bumerang bagi para pelaku industri, termasuk usaha kecil dan menengah.
Situasi itu menjadi perhatian sejumlah kalangan yang terlibat dalam Forum Rantai Pasok Global (GSCF) yang digelar di Bridgetown, Barbados, pada 21-24 Mei 2024. Forum tersebut diharapkan dapat menghasilkan sejumlah solusi bersama untuk mengatasi disrupsi rantai pasok dunia.
Dalam Barbados Today, Kamis (23/5/2024) waktu setempat, Asosiasi Usaha Kecil dan Menengah (ASB) Barbados menyebutkan, baik dunia usaha maupun konsumen terkena dampak buruk gangguan rantai pasokan. Dunia usaha terbebani kenaikan biaya produksi dan mengalami penurunan pendapatan bahkan kerugian.
Mereka juga terpaksa membeli bahan baku dari pemasok lain dengan harga lebih mahal. Banyak juga yang kehilangan pembeli baik akibat harga produk olahan naik dan keterlambatan atau penundaan pengiriman.
Adapun dampaknya ke konsumen, biaya hidup menjadi lebih tinggi karena harga barang menjadi lebih mahal akibat kenaikan biaya produksi. Konsumen juga terlambat mendapatkan barang pesanan, bahkan sampai tidak bisa membelinya karena stok habis.
Mengutip Survei Konsumen 2023 yang dilakukan o9 Solutions, ASB Barbados menyebutkan, sebanyak 52 persen dari 1.000 konsumen Amerika Serikat mengaku terdampak disrupsi rantai pasokan dalam 12 bulan terakhir. Sebagai respons terhadap gangguan itu, sebanyak 38 persen responden berhenti membeli barang karena kenaikan harga.
Mereka juga mulai banyak membanding-bandingkan produk sejenis dalam belanja (35 persen). Selain itu, mereka juga menyesuaikan kebiasaan belanja bulanan dengan memprioritaskan produk yang paling diperlukan (33 persen).
Konsumen mulai banyak membanding-bandingkan produk sejenis dalam belanja. Selain itu, mereka juga menyesuaikan kebiasaan belanja bulanan dengan memprioritaskan produk yang paling diperlukan.
Fenomena serupa juga dialami konsumen di Indonesia. Salah satunya akibat kenaikan harga bahan pangan pokok, baik yang bersumber dari impor maupun produksi dalam negeri. Kenaikan harga pangan di dalam negeri juga disebabkan kenaikan biaya produksi dan dampak El Nino.
Berdasarkan data Mandiri Spending Indeks, rata-rata penghasilan bersih masyarakat hanya meningkat 15 persen selama 2017-2023. Sementara kenaikan harga (indeks harga konsumen) lebih tinggi, yakni sebesar 18,5 persen.
Adapun Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat inflasi harga barang bergejolak masih cukup tinggi kendati tekanan sudah mulai mereda. Per April 2024, tingkat inflasi tahunan komponen harga bergejolak sebesar 9,63 persen.
Tingkat inflasi itu turun dari inflasi tahunan Maret 2024 yang sebesar 10,33 persen. Komoditas yang memberikan andil inflasi komponen tersebut antara lain beras, bawang merah, cabai, serta daging dan telur ayam ras.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, Jumat (24/5/2024), mengaku, pelaku industri makanan-minuman terbebani kenaikan biaya produksi. Di sisi lain, mereka tidak bisa serta-merta menaikkan harga produk karena daya beli masyarakat lemah.
Kalaupun naik, kenaikan harga produk tersebut bertahap dan tidak terlalu tinggi. Banyak pelaku industri makanan-minuman yang lebih memilih mengurangi keuntungan atau mengefisienkan usaha. ”Oleh karena itu, kami berharap pemerintah memahami kondisi itu dan menunda menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025,” katanya.
Semakin kompleks
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menilai problem dan dampak gangguan rantai pasok global semakin kompleks dan meluas. Oleh karena itu, setiap negara perlu fokus mencari solusi yang pas untuk mengurai berbagai hambatan itu.
Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan menuturkan, tantangan rantai pasok global semakin kompleks, beragam, dan saling berhubungan. Tantangan itu mencakup bidang hukum, geopolitik, lingkungan, bahkan sosial.
Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah membuat kebijakan atau regulasi secara multilateral. Hal itu penting mengingat kebijakan dan regulasi saat ini terfragmentasi, banyak norma dan standar yang diterapkan dan bersaing satu sama lain.