Biaya Hidup Meroket

Biaya Hidup Meroket - Biaya Hidup Meroket dalam Satu Dekade, Kemiskinan Turun Tipis. Penduduk miskin adalah orang-orang yang

Biaya Hidup Meroket – Biaya Hidup Meroket dalam Satu Dekade, Kemiskinan Turun Tipis. Penduduk miskin adalah orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di Indonesia, per Maret 2024, ada 25,22 juta penduduk miskin atau 9,03 persen dari total populasi. Mereka adalah orang-orang yang pengeluarannya dalam sebulan ada di bawah garis kemiskinan, yakni Rp 582.932 per kapita (kepala).

Garis kemiskinan merupakan indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat kemiskinan. Indikator itu nexwin77 merepresentasikan berapa jumlah pengeluaran minimum yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum (makanan dan nonmakanan).

Setiap tahun, garis kemiskinan meningkat seiring dengan kenaikan biaya hidup. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan, garis kemiskinan per Maret 2024 sudah mencapai Rp 582.932 per kapita per bulan. Angka itu meningkat 5,9 persen dibandingkan garis kemiskinan Maret 2023 sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan.

Jika dilihat dalam rentang satu dekade terakhir, garis kemiskinan mengalami kenaikan yang jauh lebih signifikan yakni 92,5 persen. Sebagai perbandingan, garis kemiskinan pada Maret 2014 masih di level Rp 302.735 per kapita per bulan.

Artinya, sepuluh tahun lalu, seseorang dianggap miskin jika uang yang ia keluarkan dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan pokok ada di bawah Rp 302.735. Sekarang, per Maret 2024, seseorang sudah termasuk miskin jika pengeluarannya di bawah Rp 582.932 per bulan.

Deputi Statistik Bidang Sosial BPS Ateng Hartono, Selasa (2/7/2024) mengatakan, garis kemiskinan akan terus meningkat karena sangat dipengaruhi harga komoditas pokok yang melonjak dari tahun ke tahun. Garis kemiskinan yang meningkat signifikan dalam sepuluh tahun terakhir adalah cerminan biaya hidup yang semakin tinggi.

Kenaikan garis kemiskinan itu mayoritas dipicu oleh komponen makanan yang merupakan pengeluaran utama masyarakat dengan porsi mencapai 74,44 persen, diikuti komponen bukan makanan yang hanya berpengaruh 25,56 persen.

Garis kemiskinan yang naik sebesar 5,9 persen pada Maret 2024, misalnya, didorong oleh kenaikan bahan makanan pokok seperti beras (20,07 persen), cabai merah (46 persen), gula pasir (18,41 persen), dan telur ayam ras (11,6 persen) secara tahunan.

Tanpa upaya apapun, naiknya garis kemiskinan sudah pasti akan menambah jumlah penduduk miskin secara statistik. Itu karena orang-orang yang sebelumnya tidak dianggap miskin, kini masuk kategori miskin.

Menurut Ateng, dampak kenaikan garis kemiskinan terhadap menanjaknya angka kemiskinan selama ini bisa diredam oleh bantuan sosial (bansos) yang banyak digelontorkan pemerintah. “Salah satu faktor pendorong yang bisa mengimbangi kenaikan garis kemiskinan adalah bansos yang akhirnya digunakan masyarakat untuk konsumsi,” katanya saat dihubungi.

Ia mencontohkan, pada Maret 2024, ketika garis kemiskinan di wilayah perkotaan naik 5,72 persen dan perdesaan naik 6,06 persen, rata-rata pengeluaran penduduk golongan bawah (desil 1) juga naik 6,50 persen (kota) dan 6,60 persen (desa). “Jadi, meski garis kemiskinan naik, sebagian penduduk desil bawahshifting menjadi tidak miskin,” tuturnya.

Di tengah tingginya kenaikan garis kemiskinan dalam satu dekade itu, angka kemiskinan turun tipis. Mengutip data BPS, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya berkurang 3,06 juta orang atau turun 2,2 persen poin.

Sebagai perbandingan, pada Maret 2014, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 11,25 persen dari total jumlah penduduk atau 28,28 juta orang. Sepuluh tahun kemudian, pada Maret 2024, tingkat kemiskinan turun menjadi 9,03 persen dari total penduduk atau 25,22 juta orang.

Capaian itu masih jauh di bawah target yang dipasang Presiden Joko Widodo. Pada 2015, saat baru menjabat, pemerintah menargetkan kemiskinan turun sampai 8,5 persen. Tahun ini, di akhir masa jabatan, kemiskinan ditargetkan turun ke 7,5 persen. Dua-duanya “jauh panggang dari api”.

Penurunan angka kemiskinan juga di bawah capaian rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2004-2014, pemerintahan SBY menurunkan tingkat kemiskinan dari 16,66 persen (36,15 juta orang) menjadi 11,25 persen (28,28 juta orang), alias turun 5,41 persen (7,87 juta orang) dalam satu dekade.

Di satu sisi, pemerintah menghadapi tantangan sulit saat pandemi Covid-19 menyerang di tahun 2020 dan 2021. Akibatnya, upaya menurunkan kemiskinan yang sempat konsisten berjalan sepanjang 2014-2019 pun terganggu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *