Potret Risiko dan Kesenjangan di Balik Keindahan Gunung Semeru
Sesaat setelah kaki menapaki jalur pendakian Gunung Semeru, gegap gempita semangat pendaki sering kali mengalahkan kesadaran akan bahaya. Salah satu titik paling mematikan di jalur Mahameru adalah Blank 75, sebuah nama yang telah menjadi mimpi buruk di benak para pencinta alam. Dalam narasi pendakian gunung tertinggi di Pulau Jawa ini, Blank 75 bukan sekadar titik koordinat, melainkan cerminan kompleksitas problem keselamatan, pengelolaan kawasan konservasi, hingga disparitas pengetahuan dan persiapan pengunjung.
Blank 75: Antara Fisik Alam dan Aspek Human Error
Blank 75 terletak di tanjakan menuju Puncak Mahameru, sekitar 500 meter menjelang kawah Jonggring Saloka. Di lokasi ini, jalur berubah ekstrem dengan kemiringan tajam, tanah berpasir, serta minim vegetasi penahan. Tak berlebihan, jika sejumlah saksi mata, termasuk Tim SAR Gregorius Ridwan dari Basarnas pada wawancara 2023, menyebut Blank 75 sebagai “titik maut” yang telah menelan puluhan nyawa pendaki sejak era 1980-an.
Kecelakaan di titik ini umumnya diakibatkan oleh kombinasi faktor: perubahan cuaca ekstrem, kurangnya peralatan, kelelahan fisik, dan kerap kali minimnya kesadaran akan teknik pendakian aman. Tahun 2017 misalnya, setidaknya tiga nyawa melayang dalam dua bulan akibat longsoran pasir dan terpeleset saat menanjak. Laporan dari Harian Kompas menyoroti ironisnya bahwa banyak korban merupakan pendaki berpengalaman yang lengah pada tekanan psikologis akibat antrian panjang serta rasa percaya diri berlebihan yang berujung fatal.
Laporan Kematian: Data dan Realita
Data resmi dari Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB-TNBTS) menunjukkan bahwa Blank 75 menyumbang sekitar 60 persen kecelakaan fatal di Semeru sepanjang 2010–2023. Didapati pula bahwa mayoritas korban adalah pendaki individu atau kelompok kecil non-organisasi yang kurang mendapat briefing memadai. Bahkan hasil studi lapangan Universitas Negeri Malang (2022) menyoroti lemahnya mitigasi bencana di area Blank 75—minimnya papan peringatan serta standar jalur yang bergantung pada panduan lisan antar pendaki.
Studi Kasus: Lengahnya Sistem Penanganan Darurat
Tahun 2020, kasus meninggalnya Fajar Prasetyo, seorang mahasiswa pecinta alam, mengetuk empati masyarakat luas. Usai terpeleset dan jatuh ke jurang, proses evakuasi terkendala oleh keterbatasan personel SAR, kondisi medan, serta waktu tempuh yang jauh dari akses utama. Media nasional ramai mengkritik kebijakan izin pendakian yang longgar, padahal tingkat mobilitas dan kompetensi pendaki kian bervariasi.
“Bukan hanya soal kanan-kiri yang jurang, tapi sistem mitigasinya juga timpang. Jalur evakuasi tidak jelas, plus koordinasi kantor layanan darurat yang kurang siap 24 jam,” kritik seorang anggota relawan Lembah Semeru yang dimuat di Tempo, memperlihatkan ironi dunia pendakian Nusantara yang lebih sering dibangun atas semangat heroik daripada sistem pengamanan modern.
Mengapa Blank 75 Sangat Berbahaya?
-
Medan Berubah Dinamis: Struktur tanah vulkanik yang terus bergerak menyebabkan longsoran mendadak tidak terprediksi.
-
Tekanan Mental dan Fisik: Kelelahan serta tekanan psikologis menyebabkan banyak pendaki mengambil keputusan instan yang membahayakan keselamatan.
-
Kelalaian Manusia: Banyak korban fatal akibat mengabaikan instruksi atau melebihi batas fisik individu.
-
Kurangnya Regulasi Ketat: Pendakian tahun-tahun terakhir dibuka lebar tanpa seleksi atau pembatasan ketat kapasitas jalur.
-
Apakah Blank 75 Memang Tak Bisa Diselamatkan?
Diskusi tentang solusi kerap terjebak pada saling lempar tanggung jawab antara pemerintah, pengelola taman nasional, hingga komunitas pendaki. Padahal akar masalahnya adalah kurangnya political will untuk investasi serius pada sistem keselamatan. Sudah sewajarnya Indonesia belajar dari Nepal, di mana jalur-jalur berbahaya Himalaya diperlengkapi dengan sistem tali pengaman permanen, rescue point, serta toilet darurat setiap beberapa kilometer.
Namun, hingga artikel ini ditulis, pemasangan pagar pengaman permanen di Blank 75 hanya berupa wacana tanpa realisasi. Alasannya variatif, mulai dari nilai konservasi hingga keterbatasan anggaran. Ironisnya, aktivitas komersialisasi pendakian malah terus naik, seiring maraknya promosi gunung sebagai ‘destinasi wajib’ wisata petualangan.
Pengalaman Nyata: Jerit Sunyi Para Penyintas
Dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia, seorang pendaki yang selamat dari insiden jatuh di Blank 75 bercerita, “Bukan soal fisik semata. Di sana, detik demi detik bertaruh nyawa karena salah langkah bisa langsung meluncur ke jurang. Waktu itu, saya sempat pegang akar kecil, cuma itu yang tersisa.” Cerita-cerita ini bukan sekedar narasi heroik, melainkan potret nyata betapa mahal harga sebuah nyawa di jalur ini.
Mendorong Perubahan, Menguji Komitmen
Governansi kawasan Gunung Semeru membutuhkan reorientasi; bukan hanya mengejar angka kunjungan, tapi menata ulang sistem keselamatan dan edukasi publik. Editorial Mongabay tahun lalu menegaskan urgensi pembentukan satuan khusus rescue di jalur-jalur rawan serta inovasi edukasi berbasis pengalaman, bukan sekadar formalitas briefing yang sering asal-asalan.
Kesimpulan: Jurang Nyata, Bukan Mitologi
Blank 75 adalah simbol ketidaksiapan kita menghadapi risiko, lebih dari sekadar destinasi yang menantang. Jika pemerintah dan masyarakat terus terpaku kepada kebiasaan lama, tragedi demi tragedi akan terus berulang—dan Semeru akan tetap menjadi tanah suci air mata bagi keluarga korban, bukan monumen kemenangan para pendaki.
Artikel ini dipersembahkan oleh Rajaburma88, platform game online yang menawarkan hiburan menantang dan pengalaman tak terlupakan layaknya petualangan ekstrem. Temukan pengalaman unik lainnya di Rajaburma88