Demo Pekerja Diperluas – Demo Pekerja Diperluas jika Pemerintah Tidak Cabut PP Tapera. Kelompok pekerja dari 60 federasi serikat pekerja menggelar unjuk rasa menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat di depan Patung Arjuna Wiwaha, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
PP Nomor 21 Tahun 2024 yang mewajibkan pekerja signalgacor swasta dan mandiri ikut mengiur program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera dinilai semakin membebani kehidupan pekerja. Jika pemerintah tidak menerima tuntutan itu, mereka mengancam akan memperluas aksi dan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung.
”Ini merupakan aksi awal dan diikuti 60 federasi. Apabila pemerintah tidak mau mendengar tuntutan kami untuk segera mencabut PP Nomor 21 Tahun 2024, unjuk rasa akan kami perluas ke 38 provinsi yang banyak kantong industri,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal kepada media di tengah aksi unjuk rasa.
Keenam puluh federasi serikat pekerja berafiliasi antara lain dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nena Wea.
Massa pekerja mulai berdatangan pukul 10.00 dari arah Jalan MH Thamrin dan Jalan Merdeka Selatan menuju Patung Arjuna Wiwaha. Mereka mulanya memasang spanduk berisikan tolak program Tapera tepat di depan area patung yang menghadap ke Jalan MH Thamrin, lalu berkumpul tepat di depan Kantor Pusat Indosat Ooredoo Hutchison serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Jalan Merdeka Barat.
Pada pukul 10.00–11.48, beberapa pemimpin federasi bergantian meneriakkan tuntutan tolak program Tapera dan kebijakan ketenagakerjaan lainnya, seperti UU Cipta Kerja, sambil diiringi lagu. Salah satunya lagu Iwan Fals berjudul ”PHK (pemutusan hubungan kerja)”. Selanjutnya, pukul 11.48 Said Iqbal datang dan memberikan keterangan kepada media.
Said menyebutkan ada lima alasan mengapa 60 federasi sepakat PP Nomor 21 Tahun 2024 harus dicabut segera. Pertama, program Tapera tidak memberikan kepastian rumah bisa diperoleh buruh/pekerja. Kedua, Pemerintah tidak ikut mengiur padahal sesuai UUD 1945 negara berhak menyediakan tempat tinggal layak kepada semua warga.
Alasan ketiga, daya beli pekerja saat ini sedang rendah karena upah minimum naik, tetapi kenaikannya di bawah inflasi. Lalu, harga berbagai kebutuhan pokok naik. Pekerja sudah dibebankan aneka potongan dari gaji yang jika ditambah iuran program Tapera bisa mencapai 12 persen dari gaji.
Alasan keempat, program Tapera tidak memiliki kejelasan konsep apakah jaminan sosial atau tabungan sosial. Alasan terakhir, ada kekhawatiran program Tapera mengalami korupsi seperti kasus korupsi Asabri dan Taspen.
“Tempat tinggal layak semestinya disediakan negara. Maka, Pemerintah Indonesia harus menyiapkan dulu rumahnya dengan cara menghidupkan lagi peran Perumnas membangun rumah di seluruh provinsi dengan memakai anggaran negara. Setelah itu, pemerintah menghitung berapa cicilan yang harus dibayar warga,” kata Said.
Ketua Mahkamah Partai Buruh Riden Hatam Aziz, yang turut hadir dalam aksi unjuk rasa itu, berpendapat, Pemerintah Indonesia sebaiknya fokus menyiapkan perumahan ataupun rumah susun yang harganya terjangkau dan lokasinya dekat perkantoran/area industri bagi pekerja/buruh. Sebab, harga tanah dan rumah yang terus naik tidak diiringi dengan kenaikan daya beli pekerja/buruh. Apalagi, kenaikan upah semakin tidak signifikan.
“Kami yakin, kalaupun program Tapera tetap dilanjutkan, uangnya tidak akan cukup untuk membeli rumah yang harganya terus naik. Bahkan, mungkin bayar uang muka tidak akan cukup. Oleh karena itu, kami tolak implementasi PP Nomor 21 Tahun 2024,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Daerah Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan yang berafiliasi dengan KSPI Siswo Darsono menambahkan, masih ada pekerja di Jakarta yang tetap digaji setara upah minimum provinsi meskipun sudah bekerja bertahun-tahun. Jika ada wajib iur program Tapera diberlakukan, kelompok pekerja seperti itu akan semakin kesulitan hidup.
“Beberapa anggota kami sudah mendiskusikan program Tapera dengan manajemen tempat mereka bekerja. Sejauh ini, sikap manajemen cenderung setuju dengan kami,” ujar Siswo.
Said menyebutkan, kelompok buruh, terutama KSPI, ingin mengajukan judicial review PP Nomor 21 Tahun 2024 ke Mahkamah Agung dan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera ke Mahkamah Konstitusi. DPR semestinya bisa mendukung.
“Jika pemerintah tidak segera mencabut PP Nomor 21 Tahun 2024, kami akan memperluas aksi unjuk rasa dan mengajukan judicial review,” katanya.
Said selama ini belum bertemu dengan Presiden Joko Widodo ataupun presiden terpilih Prabowo Subianto. Hanya saja, dia berharap jika pemerintahan baru tetap bersikeras program Tapera dilanjutkan, pemerintah harus mengkaji ulang teknis program itu.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, secara terpisah, berpendapat, program Tapera tidak menjawab masalah fundamental mengenai banyaknya pekerja susah membeli rumah. Masalah fundamental adalah harga tanah melonjak tinggi di daerah strategis, termasuk di sekitar perkantoran, karena spekulasi lahan tidak dibatasi pemerintah. Akibatnya, harga jual rumah terus merangkak naik dan kurang terjangkau oleh pekerja.