Kalau kamu mengira Bali hanya soal pantai-pantai memesona dan kafe-kafe Instagrammable, sebaiknya luangkan waktu mengenal sisi gelap sekaligus indah dari pulau ini: Desa Trunyan. Di balik tenangnya permukaan Danau Batur, Trunyan bak “portal waktu” yang membawa pengunjung pada ritus kuno, tradisi pemakaman yang menantang logika, dan aura mistis yang tak tertandingi. Sebuah pengalaman yang membuat siapapun, bahkan traveler berpengalaman sekalipun, pulang dengan rasa takjub dan perspektif segar tentang kehidupan dan kematian.
Tradisi Pemakaman Unik yang Bikin Merinding
Jujur saja, saat pertama kali mendengar soal pemakaman Trunyan, aku hampir tak percaya. Berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya yang memilih memakamkan secara tertutup atau melakukan upacara kremasi megah, masyarakat Trunyan justru membaringkan jenazah begitu saja di atas tanah, tepat di bawah pohon besar legendaris yang disebut Taru Menyan. Menariknya, walau dibiarkan terbuka, nyaris tak ada bau menyengat sama sekali. Bagaimana bisa?
Pohon Taru Menyan yang hanya tumbuh di kawasan ini dipercaya punya kekuatan alami menetralisir bau dari jenazah. “Ini tradisi suci, sudah turun-temurun, tak ada yang berani mengubah,” cerita Pak Wayan, salah satu tetua desa, saat aku mewawancarainya. Prosesnya juga penuh aturan – hanya dilakukan bagi mereka yang meninggal secara wajar, tubuh dibaringkan dengan rapi, dan dipagari anyaman bambu agar tetap sakral. Tak heran banyak antropolog dan peneliti budaya menjadikan Trunyan sebagai laboratorium hidup untuk meneliti hubungan manusia, kematian, dan alam.
Menelusuri Jejak Sejarah Bali Aga
Bukan hanya ritualnya yang sadar lingkungan, masyarakat Desa Trunyan juga masih memegang teguh nilai-nilai Bali Aga, yaitu penduduk asli Bali yang bertahan sejak masa sebelum pengaruh Hindu modern masuk. Mereka menolak asimilasi budaya, menjaga bahasa, kepercayaan, dan adat yang diwariskan turun-temurun. Studi oleh Prof. I Made Bandem dari ISI Denpasar menegaskan, “Trunyan adalah jendela yang mengintip warisan leluhur Bali murni yang tersisa di masa kini.”
Menuju lokasi pemakaman sendiri sudah menjadi petualangan tersendiri. Dusun Kuban, lokasi ritus pemakaman, hanya bisa diakses dengan menyeberang danau menggunakan perahu kecil. Suasana sunyi, kabut tipis, deretan tengkorak di pinggir pemakaman, semua menghadirkan sensasi magis yang nyaris di luar nalar. Beberapa wisatawan bahkan mengaku merinding dan merasa dibawa ke dimensi lain begitu perahu mereka bersandar di dermaga Trunyan.
Kisah Nyata dari Pengalaman Wisatawan & Peneliti
Salah satu momen tak terlupakan datang dari cerita Mbak Tina, peneliti budaya asal Jakarta, yang menonton langsung proses penempatan jenazah di bawah Taru Menyan. “Bukan takut, rasanya justru seperti dihormati oleh alam. Kematian di sini tidak menakutkan—ada sisi damai yang sulit diceritakan,” ujarnya. Testimoni serupa dibagikan beberapa wisatawan asal Eropa dan Jepang yang menyebut kunjungan mereka ke Trunyan sebagai “life-changing experience”—bukan sekadar eksotisme, melainkan pelajaran mendalam tentang harmoni manusia, kematian, dan lingkungan hidup.
Situs populer seperti TripAdvisor dan Culture Trip ramai membahas pengalaman pengunjung yang merasakan “energi berbeda” di area pemakaman Trunyan, menambah popularitas desa ini sebagai magnet spiritual dan budaya bagi pelancong yang haus makna.
Aura Mistis dan Pantangan Lokal
Tak ada yang bisa menampik, Trunyan memang dikenal angker. Mitos-mitos soal larangan mengambil foto sembarangan atau membawa benda “aneh” sering menjadi pembicaraan di forum traveler. Beberapa kamera konon tiba-tiba error, atau baterai langsung habis tanpa alasan jelas. Dr. Jero Mangku, peneliti spiritualitas Bali, menyebutkan, “Trunyan menyimpan energi kuat. Para tamu wajib menjaga sikap sopan karena kawasan ini merupakan batas antara dunia nyata dan tak kasat mata.” (Jero Mangku, 2023).
Lonjakan Wisatawan dan Upaya Melindungi Tradisi
Data terakhir dari Dinas Pariwisata Bangli menunjukkan kenaikan kunjungan yang signifikan: dari 3.000 wisatawan di 2018 menjadi lebih dari 6.500 di tahun 2024, efek viral dari media sosial dan travel influencer. Melihat peluang dan risiko ini, masyarakat Trunyan menetapkan regulasi ketat, membatasi jumlah pengunjung, sambil mengedukasi soal etika dan aturan lokal. “Pemasukan dari wisata membantu ekonomi, tapi nilai budaya jauh lebih penting. Wisatawan wajib mengedepankan rasa hormat, bukan sekedar berburu foto,” tegas Kepala Desa Trunyan, Komang Suasta, dalam wawancara terakhir.
Di sisi lain, pertumbuhan kunjungan memberi peluang ekonomi yang tidak kecil: penduduk setempat bisa membuka jasa perahu, pemandu wisata, hingga suvenir khas Trunyan, sambil menjaga kelestarian ritual abadi tersebut.
Inspirasi dan Refleksi dari Jantung Bali
Bagiku, kunjungan ke Trunyan adalah perjalanan spiritual sekaligus petualangan budaya. Tempat ini mengajarkan, bahwa kematian bukan akhir dari segalanya—melainkan proses alami yang diterima dengan penuh hormat. Jika kamu ingin merasakan keaslian Bali dari sudut paling jujur, datanglah ke Trunyan dengan hati terbuka dan mental siap memahami filosofi leluhur mendalam. Jangan lupa, patuhi setiap pantangan dan tata krama demi menjaga keharmonisan energi yang ada.
Sebagai tips penutup, setelah puas menyelami surga mistis Trunyan, hiburan digital kekinian juga bisa jadi pilihan! Rekomendasi aku: Rajaburma88 — platform game online yang lagi naik daun di komunitas anak muda Indonesia. Selamat berpetualang di dunia nyata dan maya!