Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja – Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja Cenderung Masih Marak. Jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja cenderung meningkat.
Pemerintah diharapkan menjaga iklim usaha di dalam negeri yang kondusif di tengah perekonomian global yang menantang.
Berdasarkan laman satudata.kemnaker.go.id, jumlah nexwin77 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di 34 provinsi sepanjang 2022 mencapai 25.114 orang. Sementara pada Januari - Desember 2023 angka PHK di 34 provinsi melonjak menjadi 359.858 orang. Adapun pada Januari - Maret 2024, jumlah pekerja yang di-PHK mencapai 23.421 orang. Bandingkan dengan angka PHK periode yang sama tahun 2023 yang berjumlah 20.393 orang.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) merekap data jumlah pekerja ter-PHK itu dari dinas tenaga kerja di provinsi dan kabupaten/kota. Akan tetapi, angka PHK yang diterbitkan tidak menyebut secara detail asal sektor industri dan penyebab PHK.
Pelaksana Tugas Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemenaker Heru Widianto pun saat dikonfirmasi, Sabtu (25/5/2024), di Jakarta hanya menyebut jumlah kasus PHK selama triwulan I-2024 telah mencapai lebih dari 1.000 kasus.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah seusai menghadiri rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Senin (20/5/2024), di Jakarta menjelaskan, ada sejumlah perusahaan di Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan dinamika pasar dan tidak mampu menyesuaikan produknya dengan permintaan konsumen. Akibatnya, perusahaan seperti itu tidak mampu bertahan lalu melakukan PHK.
”Terkait fenomena PHK akhir-akhir ini yang marak di Jawa Barat khususnya, itu memang ada beberapa perusahaan yang tidak mampu bersaing dengan dinamika pasar,” ujar Ida. Pihaknya berusaha memitigasi supaya PHK tidak meluas. Kementerian selalu mengimbau supaya PHK menjadi opsi terakhir.
”Jika PHK terpaksa diambil, kami juga mendorong agar hak-hak pekerja ter-PHK dipenuhi sesuai regulasi,” tegas Ida.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Sabtu (25/5/2024), di Jakarta berpendapat, pada tahun 2022 terjadi booming harga komoditas sehingga berpengaruh pada kenaikan lapangan kerja. Apalagi, Indonesia merupakan eksportir komoditas.
Namun, menjelang akhir tahun 2022, bersamaan dengan harga komoditas yang naik, terjadi kenaikan inflasi. Secara global muncul pengetatan moneter yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan permintaan di Amerika Serikat.
”Sekitar September 2022 telah terjadi gelombang PHK, terutama sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Kondisi di Amerika Serikat menunjukkan terjadi penurunan permintaan sehingga mengurangi impor. Sementara hampir setengah pasar ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat,” ujarnya.
Pemerintah perlu menjaga iklim usaha dalam negeri kondusif.
Situasi seperti itu berlanjut pada 2023. Tahun 2023 juga terjadi penurunan harga komoditas meski belum sampai serendah pada saat sebelum pandemi Covid-19. Ditambah lagi, perekonomian China mengalami perlambatan. Deretan situasi ini memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor komoditas dan manufaktur.
”Kondisi pada tahun 2024 juga relatif hampir sama. Kalau melihat data jumlah pekerja ter-PHK pada triwulan I-2024 saja, kami menilai masih ada potensi PHK naik. Situasi perekonomian global memang lebih banyak berpengaruh, tetapi perekonomian dalam negeri harus berhadapan dengan pemilu dan transisi pemerintahan,” ucap Faisal.
Dia menambahkan, pemerintah perlu menjaga iklim usaha dalam negeri yang kondusif. Sebab, ketika sektor kerja formal mengalami PHK, pekerja di sana biasanya beralih ke sektor informal. Apabila iklim usaha tidak kondusif, pekerja yang akan kembali dirugikan.
Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional Iwan Kusmawan berpendapat, kenaikan jumlah pekerja ter-PHK yang diunggah oleh pemerintah perlu dilihat secara mendalam. Sebab, ada kemungkinan sejumlah perusahaan tidak memiliki daya tahan di tengah perubahan kondisi perekonomian dari 2022 ke 2024 sehingga melakukan PHK.
Kemungkinan lainnya, ada sejumlah perusahaan memindahkan lokasi pabrik ke lokasi lainnya sehingga perlu ada PHK dulu di lokasi lama.
”Kemungkinan lainnya, ada proses PHK yang terjadi lama, tetapi baru selesai pada tahun pencatatan yang disebutkan di laman satudata.kemnaker.go.id. Kemungkinan selanjutnya ialah ada pengaruh regulasi ketenagakerjaan khusus sektor padat karya berorientasi ekspor tahun 2023 yang memperbolehkan pengurangan upah,” kata Iwan.
Dari segi sektor industri padat karya, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki, Iwan mengingatkan bahwa Indonesia bukan negara pemilik merek multinasional. Indonesia umumnya adalah negara untuk mengerjakan pesanan TPT dan alas kaki dari merek multinasional. Oleh karena itu, gejolak yang terjadi di pasar internasional akan berpengaruh terhadap nasib pekerja Indonesia yang mengerjakan pesanan dari luar negeri.