Gunung Sadahurip, sebuah bukit berbentuk kerucut yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mendadak menjadi perhatian nasional pada awal dekade 2010-an. Isu bahwa gunung ini menyimpan piramida kuno yang konon lebih tua dari Piramida Giza di Mesir sempat viral dan memicu kehebohan di media massa, dunia maya, hingga mengundang peneliti dari dalam dan luar negeri. Fenomena ini menyoroti bagaimana perpaduan antara keunikan alam, legenda lokal, dan interpretasi ilmiah dapat membentuk narasi besar yang menggugah rasa ingin tahu publik.
Lokasi, Karakteristik, dan Lingkungan Gunung Sadahurip
Gunung Sadahurip terletak di Desa Sukahurip, Kecamatan Pangatikan, Garut, pada koordinat sekitar 108°01’30” – 108°04’00” BT dan 07°10’00” – 07°12’00” LS. Dengan ketinggian puncak sekitar 1.449 meter di atas permukaan laut, Sadahurip berdiri di antara gugusan gunung api lain seperti Gunung Talagabodas, Karacak, dan Sadakeling. Lingkungan sekitar gunung sangat subur, didominasi ladang pertanian dan hutan, yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.
Secara visual, Sadahurip memiliki bentuk kerucut yang simetris dan sisi-sisi yang tampak tegas. Inilah yang memicu spekulasi bahwa gunung ini adalah piramida raksasa yang terkubur, apalagi jika dilihat dari udara atau melalui citra satelit.
Asal Usul Isu Piramida: Antara Sains dan Imajinasi
Isu Sadahurip sebagai piramida bermula dari interpretasi bentuknya yang dianggap terlalu sempurna untuk hasil kerja alam. Sejumlah tokoh dan komunitas peneliti alternatif menduga adanya struktur buatan manusia di balik gunung ini, bahkan mengaitkannya dengan peradaban kuno atau jejak makhluk asing. Penelitian menggunakan teknologi geolistrik dan IFSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar) dilakukan untuk mencari anomali struktur di dalam gunung.
Namun, hasil penelitian para ahli geologi dan vulkanologi justru membantah klaim tersebut. Hans Berekoven, peneliti asal Australia yang sempat meneliti Sadahurip, menegaskan bahwa bentuk kerucut Sadahurip merupakan hasil aktivitas vulkanik dan proses erosi alami, bukan karya manusia. Sujatmiko, geolog Indonesia, menambahkan bahwa batuan penyusun Sadahurip adalah batuan beku solid hasil erupsi gunung api muda, tanpa jejak artefak atau struktur buatan di dalamnya.
Fakta Geologi Gunung Sadahurip
Berdasarkan kajian geologi regional dan penelitian lapangan, Gunung Sadahurip adalah gunung api tua yang merupakan parasit dari Gunung Talagabodas. Gunung ini terbentuk dari aliran lava andesit-basalt, breksi gunung api, dan sebagian besar ditutupi oleh endapan piroklastika berumur sekitar 13.320 tahun sebelum sekarang. Proses erupsi efusif dan pelapukan selama ribuan tahun membentuk struktur kerucut yang khas.
Lembah Baturahong di sisi gunung merupakan hasil erosi alami, sementara bercak putih pada permukaan lava yang sempat dikira sebagai batu bertulis adalah endapan silika akibat pelapukan. Tidak ditemukan bukti arkeologis berupa artefak, sisa bangunan, atau pola pemahatan yang menunjukkan keterlibatan manusia prasejarah dalam pembentukan gunung ini.
Legenda, Budaya, dan Signifikansi Lokal
Meski klaim piramida tidak terbukti secara ilmiah, Gunung Sadahurip tetap memiliki nilai budaya dan spiritual yang tinggi bagi masyarakat Sunda. Dalam legenda lokal, Sadahurip dikaitkan dengan kisah raksasa Ki Galang Taru yang melempar batu besar hingga membentuk gunung berbentuk piramida. Gunung ini juga dianggap keramat, sering menjadi tujuan ziarah, dan di sekitarnya ditemukan beberapa situs seni cadas kuno.
Pada masa kolonial Belanda, Sadahurip pernah dijadikan titik strategis militer. Sisa-sisa benteng dan bangunan kolonial masih dapat ditemukan di beberapa titik. Kini, gunung ini menjadi destinasi populer bagi pendaki, pecinta alam, dan fotografer yang tertarik pada keindahan lanskap serta keunikan bentuknya.
Dampak Pariwisata dan Upaya Pelestarian
Popularitas Sadahurip sebagai “piramida Garut” membawa dampak positif dan negatif. Di satu sisi, kunjungan wisatawan meningkat, ekonomi lokal tumbuh, dan promosi budaya Sunda semakin meluas. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan dan hilangnya nilai sakral akibat eksploitasi berlebihan.
Pemerintah daerah bersama masyarakat berupaya menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan. Jalur pendakian diatur agar tidak merusak ekosistem, dan edukasi tentang pentingnya menjaga kelestarian alam serta warisan budaya terus digalakkan. Festival budaya dan acara adat rutin digelar untuk memperkuat identitas lokal dan menambah daya tarik wisata.
Analisis: Membedakan Fakta dan Mitos
Kasus Gunung Sadahurip menegaskan pentingnya pendekatan ilmiah dalam menilai fenomena alam dan sejarah. Keberanian masyarakat dan peneliti untuk menguji hipotesis dengan data geologi, arkeologi, dan teknologi modern patut diapresiasi. Namun, narasi alternatif dan legenda lokal tetap memiliki tempat dalam memperkaya khazanah budaya dan imajinasi kolektif.
Kisah Sadahurip juga menjadi pelajaran tentang bagaimana media dan opini publik dapat membentuk persepsi, bahkan sebelum bukti ilmiah tersedia. Diskusi terbuka dan edukasi berbasis data sangat penting agar masyarakat tidak terjebak pada klaim sensasional tanpa dasar yang kuat.
Kesimpulan: Sadahurip, Warisan Alam dan Budaya Garut
Gunung Sadahurip adalah contoh nyata bagaimana alam, legenda, dan sains saling berinteraksi dalam membentuk identitas sebuah tempat. Secara ilmiah, Sadahurip adalah gunung api tua hasil aktivitas vulkanik, bukan piramida buatan manusia. Namun, nilai budaya, spiritualitas, dan keindahan alamnya tetap menjadikannya aset penting bagi Garut dan Indonesia.
Ke depan, kolaborasi antara ilmuwan, pemerintah, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian Sadahurip. Edukasi publik dan pengembangan pariwisata berkelanjutan harus berjalan seiring, agar warisan alam dan budaya ini tetap lestari dan menginspirasi generasi mendatang.
“Gunung Sadahurip adalah karya agung alam yang patut dihargai, bukan sekadar misteri yang harus didebatkan.” — Hans Berekoven