Industri Penerbangan Domestik – Pelemahan Rupiah Memukul Industri Penerbangan Domestik. Pelemahan rupiah terhadap dollar AS memukul industri penerbangan yang mayoritas pengeluaran menggunakan mata uang dollar AS.
Selain itu, tarif batas atas tiket pesawat tak pernah berubah sejak 2019 meski harga komponen lain terus naik. Apabila terus dibiarkan, imbasnya berisiko merugikan banyak pihak.
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia ditutup dengan nilai tukar rupiah burung77 pada posisi Rp 16.312 per dollar AS pada Jumat (5/7/2024). Nilai rupiah yang lemah memukul banyak industri, termasuk industri penerbangan.
Para petinggi maskapai penerbangan menilai kondisi ini amat berdampak pada industrinya. Sebab, berbagai komponen pesawat dibayarkan dengan dollar AS.
”Karena komponen dollar AS banyak, tentu dampaknya besar,” ujar Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (6/7/2024).
Meski dollar AS cenderung meningkat beberapa waktu terakhir, tarif tiket pesawat tak terkerek naik karena maskapai harus mengikuti regulasi tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
”Kan, enggak bisa menaikkan harga tiket karena TBA sudah enggak naik dari 2019. Tak ada masalah buat penumpang, masalahnya pada maskapai,” kata Irfan.
Hal serupa diutarakan Presiden Direktur Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro. Ia mengatakan, TBA dan TBB telah diatur pemerintah sehingga harga tiket berlaku sesuai regulasi pemerintah.
Dalam tren seperti ini, Lion Air Group dinilai masih bisa berjalan baik dan lancar. Sejauh ini, rute penerbangan masih tetap sama, tanpa perubahan walau upaya efisiensi tetap dilakukan.
”Dari pandemi Covid-19 itu, strategi yang harus kami jalankan adalah strategi efisien. Namun, efisien bukan berarti mengabaikan keselamatan. Kami tetap fokus. Efisiensi pada segala hal menjadi kekuatan sebetulnya,” tutur Daniel.
Beragam komponen tiket memang telah naik dibanding tahun 2019 karena penguatan kurs dollar AS. Kurs ini memengaruhi banyak komponen dalam industri penerbangan.
Pengamat penerbangan, Gatot Rahardjo, mengemukakan, kurs dollar AS memengaruhi banyak aspek, di antaranya harga avtur, biaya sewa pesawat, dan harga suku cadang. Ketika diakumulasi, proporsi komponen memanfaatkan dollar AS mencapai 70 persen dari total pengeluaran atau biaya operasional maskapai.
”Naiknya biaya saat ini melebihi biaya yang dijadikan patokan pemerintah saat menentukan TBA tahun 2019. Jadi, kalau secara ekonomi, biaya lebih besar dari pendapatan (TBA) sehingga maskapai merugi,” ujarnya.
Ia berpendapat, TBA tak berubah karena tak ada kemauan politik (political will) pejabat Kemenhub. Sebab, hingga sekarang tak ada tanda-tanda pembahasan revisi soal regulasi tersebut.
Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Lie berpendapat, melemahnya rupiah terhadap dollar AS berdampak pada bertambahnya beban biaya perusahaan penerbangan. Hal ini merugikan pula perusahaan penerbangan berstatus publik, seperti Garuda Indonesia.
”Nilai saham jadi kecil karena dalam rupiah. Ini juga berpengaruh terhadap kemampuan mereka memperoleh pendanaan,” kata Alvin.
Dalam konteks Indonesia, seluruh pendapatan maskapai dalam mata uang rupiah. Padahal, banyak pengeluaran dalam dollar AS atau euro sehingga makin tak menguntungkan melayani rute dalam negeri. Apalagi, TBA selama lima tahun terakhir tak berubah.
Imbasnya, maskapai penerbangan melirik rute luar negeri karena penghasilan dalam dollar AS. Namun, fenomena ini perlu diwaspadai. ”Berbahaya karena rute dalam negeri menyusut. Kasihan daerah-daerah terpencil jadi tak menarik untuk dilayani,” ucapnya.
Isu soal revisi TBA sebenarnya telah lama mencuat. Para pelaku sekaligus Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (INACA) serta sejumlah pengamat penerbangan menyuarakan pentingnya revisi regulasi tersebut agar maskapai bisa bertahan.
Menurut Gatot, setidaknya ada sejumlah solusi yang dapat dipertimbangkan pemerintah guna menyehatkan industri penerbangan dalam negeri. Cakupan ini berlaku dari persoalan TBA hingga biaya-biaya komponen tiket.
Pertama, pemerintah dapat menaikkan TBA sehingga pendapatan maskapai bisa meningkat setidaknya menyamai, bahkan melebihi biaya yang dikeluarkan. Namun, imbas kenaikan harga tiket akan memicu protes masyarakat.
Kedua, pemerintah bisa menurunkan biaya-biaya yang timbul dalam komponen tiket. Beberapa contohnya menurunkan harga avtur, menghapus sejumlah pajak, bea masuk, kemudahan impor pesawat, serta subsidi biaya pelayanan jasa penumpang (PSC). Dampaknya, TBA serta harga tiket bisa dipertahankan, bahkan menurun. Namun, pemerintah mengeluarkan biaya lebih guna menyubsidi serta berkurangnya penerimaan pajak.