Industri Tekstil Dalam Negeri

Industri Tekstil Dalam Negeri - Senja Kala Industri Tekstil Dalam Negeri. Bicara industri tekstil RI belakangan ini selalu muncul kabar tidak sedap

Industri Tekstil Dalam Negeri – Senja Kala Industri Tekstil Dalam Negeri. Bicara industri tekstil RI belakangan ini selalu muncul kabar tidak sedap. Gempuran barang impor, produksi yang menurun, penjualan yang merosot, hingga rentetan pemutusan hubungan kerja terus mewarnai industri ini. Mengapa industri tekstil domestik kian terpuruk? Ada apa?

Kamis (27/6/2024), ratusan warga https://kopislot77.live/ dari industri kecil menengah (IKM) tekstil dan buruh tekstil berunjuk rasa di sekitar Patung Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar pemerintah melindungi pasar dalam negeri dari gempuran impor tekstil dan produk tekstil (TPT).

”Ini sudah bentuk pelampiasan frustrasi dan kegelisahan kami. Kami meminta pemerintah untuk melindungi kami,” ujar Ketua Ikatan Pengusaha Konfeksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman saat ditemui di sela-sela unjuk rasa.

Ia mengungkapkan, banyak pekerja industri tekstil skala mikro dan kecil, seperti penjahit hingga buruh pabrik, yang menganggur. Membanjirnya barang impor, baik legal maupun ilegal, masuk secara dumping atau dijual dengan harga di bawah harga produk dalam negeri. Ini membuat industri tekstil lokal kalah bersaing dan tak laku dijual.

Bahkan, Nandi berkeyakinan, mayoritas barang impor yang ada di pasar Indonesia itu masuk secara ilegal. Sebab, harganya sangat murah yang bahkan dijual di bawah harga bahan bakunya. Apabila diimpor resmi, secara teori harganya akan lebih mahal dibandingkan harga pasaran lantaran dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan bea safeguard.

”Kalau ada garmen yang dijual di bawah harga Rp 50.000 per potong, itu sangat tidak masuk akal,” ujarnya.

Dengan harga yang sangat murah ini, para pengusaha, baik yang skala IKM maupun perusahaan besar, tidak akan kuat menghadapi persaingan dengan produk-produk impor. Untuk itu, tidak heran kalau banyak perusahaan dari yang kecil sampai besar, dari hulu sampai hilir, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga menutup pabriknya.

Menurut Nandi, banjir impor dalam dua tahun terakhir sangat keterlaluan sehingga 60 persen anggotanya yang merupakan industri kecil menengah sudah tidak lagi beroperasi, sedangkan sisanya hanya menyisakan kapasitas produksi 50 persen. ”Pasar dalam negeri kita, baik offline maupun online, disikat semua oleh produk impor yang harganya tidak masuk akal,” katanya.

Ia berharap pengusaha IKM tekstil mendapatkan ruang lebih besar di pasar dalam negeri. Sebab, menurut dia, daya beli di Indonesia masih besar, ditambah inflasi yang masih relatif lebih rendah daripada negara-negara lainnya.

Bukan hanya IKM tekstil yang tertekan, pabrik tekstil besar yang berorientasi ekspor pun tengah menderita. Salah satunya dialami PT Sri Rejeki Isman Tbk atau dikenal dengan sebutan Sritex.

Dalam siaran pers, Selasa (25/6/2024), pada 2023 perusahaan mencatat rugi bersih 175 juta dollar AS, menurun 44 persen dibandingkan 2022 yang mencatat rugi bersih 396 juta dollar AS.

Pendapatan penjualan perusahaan pada 2023 mencapai 325 juta dollar AS atau menurun 38 persen dibandingkan 2022 yang 524,56 juta dollar AS. Adapun portofolio pendapatan penjualan Sritex sebesar 48,08 persen dari pasar ekspor dan selebihnya dari penjualan dalam negeri.

Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto menjelaskan, kinerja perusahaan terdampak penurunan permintaan di tingkat global dan juga di tingkat domestik. Di tingkat global terjadi penurunan penjualan yang hampir merata, baik di kawasan Eropa, Asia, Amerika Serikat, Amerika Latin, Uni Emirat Arab, hingga Afrika.

Dampak makroekonomi, yakni suku bunga dan inflasi tinggi, ditambah kondisi geopolitik terkait perang Rusia-Ukraina, serta perang Israel-Hamas, menyebabkan penurunan permintaan. Masyarakat global lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan energi ketimbang sandang. Selain itu, jalur pengiriman juga terganggu, dengan biaya pengiriman meningkat, karena jarak tempuh yang lebih jauh untuk menghindari Terusan Suez.

Melihat kondisi global tersebut, perusahaan mengubah strategi untuk memperbesar porsi penjualan domestik. Akan tetapi, hal ini terganggu dengan maraknya impor ilegal yang harganya lebih murah lantaran tidak membayar pajak.

Direktur Sritex Welly Salam menambahkan, pada 2023 jumlah pekerja Sritex mencapai 10.000 orang, menurun dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 13.000 orang. Dia berharap para pemangku kepentingan bisa memberikan perhatian lebih pada industri tekstil. Sebab, industri ini bersifat padat karya yang menyediakan lapangan kerja luas ke banyak orang dari berbagai segmen masyarakat, baik dari lulusan SD, SMP, maupun SMA.

Dengan kondisi tersebut, PHK di sektor industri tekstil dalam negeri kian tak terhindarkan. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, sejak awal 2024 hingga pertengahan Juni, sebanyak 13.800 pekerja di industri tekstil terkena PHK. Pasar ekspor tengah lesu, sementara pasar dalam negeri dibanjiri impor. Pendapatan perusahaan menurun drastis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *