Kehidupan Nelayan Semakin Rentan

Kehidupan Nelayan Semakin Rentan - Kehidupan Nelayan Kecil Semakin Rentan. Kehidupan nelayan kecil kian mengalami kerentanan majemuk

Kehidupan Nelayan Semakin Rentan – Kehidupan Nelayan Kecil Semakin Rentan. Kehidupan nelayan kecil kian mengalami kerentanan majemuk akibat dampak perubahan iklim, gangguan di wilayah tangkapan, dan akses bahan bakar minyak yang minim.

Peningkatan kontribusi sektor perikanan nexwin77 terhadap penerimaan negara masih belum diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan nelayan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melansir jumlah nelayan pada 2022 mencapai 2.401.540 jiwa. Populasi nelayan itu meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 2.359.264 jiwa. Menurut statistik KKP pada 2023, sebagian besar dari mereka (85 persen) merupakan nelayan skala kecil.

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Sartika Djamaluddin mengungkapkan, Indonesia adalah negara produsen perikanan tangkap terbesar kedua dunia setelah China pada tahun 2020. Pertumbuhan sektor perikanan mencapai 8,2 persen atau di atas pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 6,58 persen.

Kontribusi sektor perikanan terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga signifikan pada masa pandemi Covid-19, yakni Rp 1,2 triliun pada 2022 atau naik 68 persen dibandingkan tahun 2021. Ironisnya, kesejahteraan nelayan masih rendah.

Hasil riset yang digagas Yayasan Econusa, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memperlihatkan nelayan menghadapi kerentanan hidup yang semakin tinggi. Masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya masyarakat nelayan, tidak luput dari berbagai dampak bencana ekologis dan persoalan iklim.

Studi kasus dilakukan pada Kabupaten Aceh Selatan (Aceh), Pemalang (Jawa Tengah), Pangkep (Sulawesi Selatan), dan Ambon (Maluku) terhadap 236 responden, selama periode Mei-Desember 2023. Dari 236 responden nelayan, sebanyak 57 orang atau 24 persen mengalami kerentanan hidup yang majemuk, yakni akibat bencana/perubahan iklim, minimnya akses BBM dan gangguan wilayah tangkap.

”Kesejahteraan nelayan masih rendah, masih banyak ditemukan kemiskinan dalam kehidupan nelayan kecil. Risiko yang dihadapi nelayan sangat tinggi akibat perubahan iklim, hambatan akses BBM, dan wilayah tangkap,” ujar Sartika, dalam paparan hasil riset dan temuan ”Krisis Iklim dan Kerentanan terhadap Kehidupan Nelayan”, secara daring, Rabu (5/6/2024).

Berdasarkan studi yang disampaikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) University, dan Works (2021), kontribusi perikanan skala kecil sangat signifikan, antara lain memenuhi kebutuhan perikanan dunia sebanyak 40 persen dan menyediakan 113 juta pekerjaan bagi nelayan kecil, termasuk pekerja wanita yang terlibat dalam sektor perikanan.

Menurut Sartika, perubahan iklim yang menyebabkan perubahan suhu muka air laut telah memicu migrasi ikan. Akibatnya, hasil tangkapan menurun dan daerah tangkapan semakin jauh. Nelayan membutuhkan biaya lebih besar untuk melaut. Sementara itu, akses terhadap bahan bakar minyak sulit didapat, terutama BBM bersubsidi.

Gangguan di wilayah tangkapan ikan juga masih terus berlangsung, seperti konflik antarnelayan, gangguan kapal besar, kerentanan akses sumber daya ikan, dan minimnya pengetahuan zonasi tangkapan.

Di sisi lain, kemampuan adaptif nelayan masih rendah. Hanya 5 persen nelayan memahami zonasi dan informasi cuaca. Sekitar 70 persen bergantung pada mata pencarian nelayan sehingga tidak memiliki alternatif pekerjaan dan kemampuan adaptif terhadap gangguan melaut. Akses perbankan dan pembiayaan keuangan juga masih rendah.

Sebanyak 60 persen responden nelayan rentan gangguan di wilayah tangkapan, sedangkan 77 persen nelayan rentan terhadap akses BBM, terutama BBM bersubsidi, sehingga mayoritas menggunakan BBM nonsubsidi yang harganya lebih mahal.

Sartika menambahkan, lebih dari 50 persen nelayan itu tidak memiliki kartu pelaku usaha bidang kelautan dan perikanan (Kusuka) yang menjadi identitas nelayan, serta instrumen untuk akses bantuan. Rendahnya kepemilikan kartu Kusuka antara lain dipicu nelayan belum merasakan manfaat kartu Kusuka.

”Perlindungan dan jaminan kesehatan nelayan sangat rendah. Ini ironis karena banyak risiko dalam pekerjaan mereka,” kata Sartika.

Menurut Sartika, pemerintah perlu melakukan terobosan perlindungan bagi nelayan kecil, antara lain peluasan jangkauan Kusuka dan manfaatnya, bantuan nelayan miskin, serta sarana penangkapan.

Ocean Program Manager Econusa Mida Saragih mengemukakan, nelayan merupakan mesin perekonomian bagi perikanan nasional dan mendukung penghidupan masyarakat di pinggiran. Perikanan skala kecil merupakan kunci dalam penciptaan lapangan kerja, produksi ikan dan perekonomian lokal, serta pemenuhan pangan. Pada 2022, jumlah kapal nelayan tercatat 453.326 unit.

Ia menilai, negara perlu lebih berpihak pada penguatan nelayan kecil, berupa dukungan alat produksi, kapal ikan, infrastruktur dan fasilitas usaha perikanan. Dukungan infrastruktur pelabuhan, berupa sarana logistik, listrik, stasiun pengisian bahan bakar nelayan, gudang pendingin diperlukan nelayan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Aceh Selatan Jeri Rahmat mengemukakan, saat ini terdapat 600 nelayan yang memiliki kartu Kusuka di wilayah itu. Namun, nelayan belum merasakan manfaat kartu Kusuka, selain surat rekomendasi untuk membeli BBM dan kelengkapan administrasi. ”Manfaat Kusuka yang digaungkan pemerintah belum terlihat,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *