Kisah Para Penulis Buku – Kisah Balik Layar Para Penulis Buku. Di balik karya tulis mengagumkan dan bernas, ada buah pikir yang dicurahkan para penulis.
Serangkaian proses panjang dilalui agar pesan dan karya yang diciptakan sampai kepada para pembacanya. Namun, penulis nexwin77 tak dapat menggantungkan hidup hanya dari penjualan buku. Berbagai celah dimanfaatkan guna menyambung hidup.
Isu yang kerap mengemuka ketika membahas kehidupan penulis tak jauh dari persoalan royalti. Saat ini, penulis mengantongi 8-10 persen keuntungan dari tiap buku terjual.
”Dengan seperti itu, kesejahteraan penulis itu dari mana? Kalau penulisnya hanya hidup dari menulis buku. Namun, penulis buku di Indonesia enggak cuma hidup dari menulis buku, dia juga merangkap pekerjaan lain,” ujar penulis buku Tentang Teman Seperjalanan, Wahyu N Cahyo, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/6/2024).
Apalagi, penulis juga menghadapi pesaing yang baru saban bulannya. Penerbit buku, Gramedia, misalnya menerbitkan judul-judul baru secara rutin. Penerbit lokal di Yogyakarta dalam sebulan menerbitkan empat judul sehingga penerbit dengan skala lebih besar tentunya mengeluarkan jumlah buku baru yang lebih banyak pula.
Cahyo melanjutkan, pendapatan sehari-sehari sebagai penulis buku tak mampu menutup kebutuhan bulanannya. Saat rilis buku pertamanya pada 2018, ia menanggung seluruh biaya karena terbit mandiri. Segala pembiayaan dari mulai proses mengedit, tata letak (layout), sampul, hingga mencetak ditanggung penulis.
Meski demikian, ia mengakui bahwa buku yang dirilisnya pada awal mulanya memang bukan mencari keuntungan. Namun, kehidupan sehari-harinya tak bisa hanya mengandalkan hasil penjualan buku sehingga pekerjaan lain dibutuhkan untuk menyambung hidup.
Buku Tentang Teman Seperjalanan dijual seharga Rp 50.000. Dari tiap eksemplarnya, Cahyo menerima keuntungan 8 persen atau Rp 4.000. Dalam dua tahun, bukunya laku 500 eksemplar sehingga ia mengantongi Rp 2 juta. Gambaran ini menunjukkan penulis, apalagi pemain yang baru merintis karyanya, tak bisa bertahan hanya dari penjualan buku.
Hal serupa diutarakan penulis buku sastra, Sasti Gotama. Pangsa pasar sastra tak seluas penulis genre lain, antara lain pop, sehingga penjualan dari buku saja kurang menyejahterakan.
”Bahkan, upah minimum regional bulanan saja belum bisa dapat. Kalau hanya menggantungkan royalti, kayaknya belum bisa menyejahterakan penulis. Saya lihat begitu,” kata Sasti.
Serupa dengan Cahyo, kondisi yang belum menjanjikan ini mendorongnya untuk bersiasat. Ia ikut mengajar kelas menulis dan menerjemahkan sekaligus mengedit buku.
”Agak berat untuk penulis-penulis yang hanya menggantungkan dari buku, kecuali buku-buku best seller. Keluhan ini sudah pernah dikeluhkan penulis lain ya,” ujar penulis Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-kupu ini.
Penulis di Indonesia, Sasti melanjutkan, derajat penulis seolah-olah masih di bawah strata profesi lain, seperti penyanyi, komika, atau pelawak. Toko buku, misalnya, karya-karya yang dipajang pada etalase hanya buku-buku laris.
Padahal, berkaca dari Jepang, karya tiap pemenang sayembara sastra akan dipajang pada etalase bagian depan toko. Buku tak serta-merta disertakan ke selera pasar, tetapi bagaimana pemerintah dan industri penerbit yang besar membantu mengarahkan, bahkan membentuk pangsa pasar agar para pembaca juga mengonsumsi buku-buku berkualitas.
Minimnya kesejahteraan penulis juga diakui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Ia mengatakan, demi mengejar kesejahteraan, para penulis harus terus berkarya. Padahal, semestinya mereka dapat mengantongi nilai kekayaan intelektual dari pendapatan hak cipta.
Jalan penulis makin terjal ketika industri penerbitan pun menghadapi tantangan lain. Minat baca buku yang menyusut berpengaruh pada jumlah terbitan buku. Sebelum pandemi, penerbit sanggup mencetak 3.000-5.000 eksemplar per judul per tahun. Saat ini, perlu setahun untuk menjual buku dengan kuantitas yang sama.
”Oplah buku turun, jumlah buku yang dicetak juga turun. Imbasnya, harga buku jadi lebih mahal. Penerbit mau cetak banyak buku, tetapi butuh modal tinggi,” ujar CEO PT Bumi Aksara Group Lucya Andam Dewi.
Dalam Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia 2020/2021, 75 persen penerbit menemukan pelanggaran hak cipta melalui penjualan buku mereka di lokapasar. Pendapatan mereka pun makin tergerus.
Isu ini disuarakan pula Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha. Persoalan pembajakan buku masih terus terjadi, bahkan masif karena didukung medium yang makin modern.
”Sekarang sulit sekali bagi penulis untuk mendapatkan ganjaran yang wajar atas karya mereka. Perlu kampanye dan tindakan nyata pemerintah untuk menghabisi para penjual buku bajakan,” kata Arys.