Kondisi Pekerja Kantoran

Kondisi Pekerja Kantoran - Sebegitu Menakutkankah Kondisi Pekerja Kantoran Sekarang?. Menurut survei PwC bertajuk

Kondisi Pekerja Kantoran – Sebegitu Menakutkankah Kondisi Pekerja Kantoran Sekarang?. Menurut survei PwC bertajuk ”PWC 2024 Global Workforce Hopes and Fears Survey”, lebih dari setengah pekerja merasa ada terlalu banyak perubahan di tempat kerja yang terjadi sekaligus, dan 44 persen tidak mengerti mengapa perubahan itu terjadi.

Pada saat yang sama, pekerja juga melaporkan peningkatan beban kerja, ketidakpastian tentang keamanan pekerjaan, dan kesulitan finansial yang merata.

Namun, tak semuanya suram. Masih nexwin77 ada tanda-tanda optimisme. Berdasarkan survei itu pula, sebagian besar karyawan mengatakan, mereka siap beradaptasi dengan cara kerja baru. Banyak yang ingin meningkatkan keterampilan mereka, dan mereka melihat potensi kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan efisiensi. Lebih dari setengahnya setuju bahwa perubahan terbaru yang mereka alami membuat mereka merasa optimistis tentang masa depan perusahaan.

Lebih dari separuh pekerja secara global menganggap terlalu banyak perubahan serentak di tempat kerja dalam setahun terakhir. Pada saat yang sama, mereka merasa beban kerja berlipat ganda, keamanan kerja makin tak pasti, dan urusan keuangan semakin sulit.

Demikian hasil survei PricewaterhouseCoopers (PwC) yang tertuang dalam laporan ”PWC 2024 Global Workforce Hopes and Fears Survey”. Dirilis pada Selasa (25/6/2024), laporan survei ini adalah edisi tahun kelima dengan 56.600 responden di 50 negara.

Perubahan yang cepat di kantor menimbulkan risiko kelelahan dan kewalahan bagi karyawan. Hampir separuh dari total responden mengungkapkan, beban kerja di kantor meningkat signifikan dan mereka diharuskan mempelajari teknologi baru dalam menjalankan tugas-tugas.

Selain tensi di tempat kerja, PwC menemukan responden mengalami stres yang berasal dari sumber lain, tetapi tetap berhubungan dengan pekerjaan mereka. Sebagian besar responden, misalnya, mengaku mengalami tekanan keuangan, antara lain kekhawatiran pekerja tidak mampu membayar tagihan. Pekerja juga khawatir tidak bisa menabung secara rutin karena upah habis untuk kebutuhan harian dan bulanan.

Posisi kerja yang tidak aman, upah yang tak adil, dan budaya kerja organisasi yang buruk merupakan tiga faktor utama yang membuat karyawan enggan tetap bertahan bekerja di suatu perusahaan.

Director of Career Services Mercer Indonesia Isdar Marwan mengatakan, tidak adanya kepastian terhadap posisi pekerjaan di kantor atau job security selama bertahun-tahun menduduki peringkat pertama alasan seorang karyawan enggan bertahan di suatu perusahaan. Akan tetapi, peringkat kedua dan seterusnya sering kali berubah-ubah.

Alasan kedua adalah upah yang tidak adil. Tahun sebelumnya, peringkat kedua adalah model bekerja yang tidak fleksibel. Alasan ketiga adalah buruknya budaya kerja organisasi (work culture), masih sama seperti temuan riset Mercer tahun sebelumnya.

Ada kecenderungan karyawan sekarang semakin menginginkan gaji yang adil untuk tetap bertahan di suatu perusahaan. Berdasarkan riset Mercer yang lain, yaitu Global Talent Trends 2024, karyawan memiliki perasaan 2,2 kali lebih besar untuk tergantikan pada 2022. Selain itu, karyawan juga memiliki perasaan 2,9 kali lebih besar untuk bekerja semata-mata demi mendapatkan gaji dibandingkan pada 2022.

Quite quitting merupakan konsep untuk tidak lagi bekerja melampaui batas dan hanya melakukan apa yang diminta sesuai deskripsi pekerjaan. Berbagai dugaan penyebab viralnya istilah ”berhenti diam-diam” ikut muncul. Salah satunya adalah Johnny C Taylor Jr, Presiden dan CEO Society for Human Resource Management, komunitas praktisi manajemen sumber daya manusia terbesar di dunia. Dia menduga penyebabnya adalah pekerjaan jarak jauh telah menyebabkan kelelahan parah dan kelelahan Zoom (Zoom fatigue). Situasi ini mempersulit pekerja istirahat di rumah.

Laporan Deloitte, ”Global Gen Z and Millennial Survey 2022”, menunjukkan, terdapat perbedaan cara pandang antara pekerja generasi baby boomers, generasi X, dan generasi lebih muda. Generasi lebih muda cenderung memprioritaskan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik dibandingkan generasi terdahulu.

Berdasarkan riset kepemimpinan tahun 2020 kepada 2.801 manajer, yang dinilai oleh 13.048 bawahan langsung dan setiap manajer dinilai oleh lima bawahan langsung, ditemukan 3- 4 persen manajer terbaik memiliki laporan langsung siapa karyawan yang melakukan berhenti diam-diam. Alasan berhenti diam-diam biasanya kurangnya kesediaan karyawan untuk bekerja lebih keras, kreatif, dan lebih banyak terkait dengan kemampuan manajer untuk membangun hubungan dengan karyawan mereka.

Harvard Business Review menuliskan, banyak orang, pada titik tertentu dalam karier mereka, telah bekerja untuk seorang manajer yang mendorong mereka untuk ”berhenti secara diam-diam”. Ini berasal dari perasaan diremehkan dan tidak dihargai, yang mungkin saja para manajer itu bersikap bias, atau mereka terlibat dalam perilaku yang tidak pantas. Reaksi awal atas tindakan manajer yang seperti itu biasanya adalah karyawan menjadi kurang termotivasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *