Kutipan Pariwisata Dinilai Rugikan Konsumen – Kutipan Pariwisata Dinilai Rugikan Konsumen dan Berisiko Langgar UU. Wacana kutipan pariwisata yang bergulir terus mendapat penolakan dari beragam kalangan.
Tak hanya merugikan masyarakat sebagai pelanggan, tetapi juga berisiko melanggar undang-undang. Penolakan terhadap kutipan pariwisata terus mengalir dari sejumlah kalangan, baik dari akademisi, pelaku usaha, maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Menurut Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari, kutipan atau iuran harus kembali dalam bentuk layanan. Apabila hanya berupa pungutan atau fee, hal itu makin tak dibenarkan.
”Untuk transportasi pesawat terbang, layanan bandara, layanan segala macam dari berangkat hingga tiba topgaming77 di bandara tujuan, itu, kan, sudah dibayar dengan harga tiket. Kalau ditambah lagi, avtur saja mahal, maka tiket jadi makin mahal, jadi masalah itu nanti,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (26/4/2024).
Penumpang pesawat akan mempertanyakan adanya kutipan tambahan, apalagi jika dana ini bermuara ke dana pariwisata Indonesia atau Indonesia tourism fund (ITF). Sebab, pembentukan wadah dana (fund) harus memiliki dasar hukum yang jelas.
Apabila kutipan pariwisata ini tetap dibebankan pada penumpang, sekalipun penumpang internasional dan bukan domestik, jumlah pergerakan ke Indonesia bisa berkurang. Belum lagi, tak seluruh penumpang pesawat ke Indonesia untuk berwisata.
”Orang makin sakit hati. Dana dia pergi ke Indonesia dibebankan, tapi tak dinikmati. Pariwisata itu, kan, dia tak nikmati. Kan, mahal harga tiket. Nanti semua tiket moda transportasi lain kena, seperti kereta api dan bus. Dalam negeri juga dikenai,” kata Azril.
Ia menilai, kutipan pariwisata ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tak mampu membangun industri ini secara mandiri. Pemerintah mencari dana dari luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena pemerintah tak mampu membangun pariwisata dengan dana yang sudah ada.
Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) pun bersuara. Pariwisata dan wisatawan hanya salah satu dari berbagai jenis penumpang pesawat.
Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja mengatakan, bisnis penerbangan saat ini dalam kondisi melambung (rebound) setelah terpuruk, imbas pandemi Covid-19. Namun, banyak kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia sehingga proses tersebut tak seoptimal maskapai penerbangan internasional.
Alasannya, Denon melanjutkan, jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadangnya masih dalam kondisi minim. Hal ini terjadi pula pada kurangnya sumber daya manusia yang siap bertugas dalam industri penerbangan.
Selain itu, biaya operasi naik karena peningkatan harga bahan bakar avtur. Hal ini beriringan pula dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dollar AS.
”Padahal, sekitar 70 persen biaya operasional penerbangan dipengaruhi dollar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan, dan pengadaan suku cadang, dan lainnya,” ujar Denon.
Pada saat bersamaan, tarif penerbangan sejak 2019 belum disesuaikan pemerintah, padahal komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat. Misalnya, kurs dollar AS pada 2019 sebesar Rp 14.102 per dollar, kemudian naik menjadi Rp 16.182 pada 2024. Nominalnya sudah meningkat 15 persen. Tren serupa terjadi pada harga jual minyak per barel dalam periode yang sama, dari 64 dollar AS menjadi 87,48 dollar AS atau naik 37 persen.
”Dengan demikian, pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif. Sebab, harga tiket naik, jumlah penumpang turun, dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun,” kata Denon.
Hal senada diutarakan anggota Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo. Penarikan kutipan yang akan disisipkan dalam komponen perhitungan tiket pesawat berisiko melanggar undang-undang (UU).
”Saya menolak rencana pemerintah menarik iuran pariwisata kepada penumpang pesawat. Selain membebani penumpang karena otomatis akan membuat tarif makin melambung, juga berpotensi melanggar UU, seperti UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,” tutur Sigit secara tertulis, seperti dikutip dari laman DPR.
Ia melanjutkan, menurut Pasal 126 UU Penerbangan, penetapan tarif penumpang kelas ekonomi dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, serta biaya tuslah atau tambahan (surcharge). Komponen tuslah merupakan biaya yang dikenakan karena terdapat biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan perusahaan angkutan udara di luar penetapan tarif pajak.