Optimalkan Akselerasi Energi

Optimalkan Akselerasi Energi Terbarukan pada Dokumen Penurunan Emisi Nasional Kedua

Optimalkan Akselerasi Energi – Optimalkan Akselerasi Energi Terbarukan pada Dokumen Penurunan Emisi Nasional Kedua. Potensi sektor energi terbarukan sebagai instrumen penurunan emisi gas rumah kaca masih belum dioptimalkan dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua. Kondisi ini patut disayangkan mengingat opsi untuk meningkatkan bauran energi terbarukan semakin terbuka dan kompetitif.

Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (NDC kedua) yang dimandatkan dalam Perjanjian Paris 2015. Penyusunan target penurunan emisi dalam NDC kedua ini nantinya akan disesuaikan dengan skenario mempertahankan kenaikan rata-rata suhu permukaan Bumi secara global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius.

Dalam NDC pertama yang disusun tahun 2016, upaya penurunan emisi masih menggunakan skenario 2 derajat celsius. Adapun angka waktu penyusunan NDC kedua ini tidak lebih dari Maret 2025.

Sebagai informasi, NDC kedua akan membandingkan pengurangan emisi terhadap tahun rujukan 2019, yang berbasis inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Metode penetapan emisi topgaming77 ini dinilai akan lebih akurat dan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi GRK global sebesar 43 persen pada 2030 dibandingkan emisi pada tahun 2019.

Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo menilai, salah satu aksi mitigasi yang dapat meningkatkan target penurunan emisi di NDC kedua berasal dari peningkatan bauran energi terbarukan. Agar selaras dengan jalur 1,5 derajat celsius, bauran energi terbarukan dalam energi primer perlu mencapai 55 persen pada 2030.

Sayangnya, lanjut Deon, Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang sedang disusun Dewan Energi Nasional (DEN) hanya membidik target bauran energi terbarukan 19-21 persen pada 2030.

”Secara target penurunan emisi, untuk sektor energi, RPP KEN mengisyaratkan target tingkat emisi di sektor energi yang masih besar, yaitu 1.074-1.233 juta ton setara karbon dioksida pada 2030,” ujar Deon, dikutip dari keterangan resmi yang diterima Kompas, Jumat (26/4/2024),

Jika target pengurangan emisi sektor energi di NDC kedua mengacu pada RPP KEN, bisa dipastikan target tersebut masih tidak selaras dengan Perjanjian Paris 2015. Kondisi ini disayangkan karena sektor energi terbarukan dapat menjadi sektor paling strategis dalam meningkatkan level mitigasi emisi Indonesia.

Menurut Deon, opsi untuk mengoptimalkan energi terbarukan melalui elektrifikasi, baik di sektor transportasi melalui kendaraan listrik maupun di sektor industri lewat boiler listrik dan pompa panas (heat pump), sudah tersedia secara komersial dan kompetitif.

Hal yang dibutuhkan saat ini, katanya, hanyalah kemauan politik (political will) dari pemangku kebijakan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan.

”Pemerintah sebaiknya jangan terlena dengan opsi lain, seperti nuklir dan CCS yang baru bisa operasi setelah 2030, sehingga strategi yang nyata bisa mengurangi emisi jadi tersendat implementasinya” tutur Deon.

Sementara itu, Koordinator Kebijakan Iklim IESR Delima Ramadhani menyampaikan, proyeksi emisi terbaru oleh Climate Action Tracker (CAT) terhadap peningkatan target menunjukkan kenaikan emisi hingga 1,7-1,8 gigaton setara karbon dioksida pada tahun 2030.

Jumlah tersebut 70-80 persen lebih tinggi dari emisi tahun 2019. Delima menambahkan, jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan. Imbasnya, Indonesia perlu menargetkan reduksi emisi 2030 pada kisaran 829-859 juta ton setara karbon dioksida untuk sejalan dengan target 1,5 derajat celsius

Untuk itu, menurut dia, pemerintah perlu memasukkan aspek keadilan dan memberikan alasan mengapa target reduksi emisi yang tertera dalam NDC kedua sebagai bagian yang adil dari kontribusi Indonesia dalam upaya mitigasi iklim global.

”Aspek keadilan dan transparansi ini perlu tecermin pada proses penyusunan NDC kedua yang memuat di antaranya praktik baik, relevan dengan keadaan nasional, keterlibatan institusi dalam negeri, dan partisipasi publik,” ujar Delima.

Sementara itu, dilansir dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Ministrial Roundtable Meeting World Energy Congress (WEC) di Rotterdam, Belanda, Rabu (24/4/2024), menyebutkan kolaborasi antarnegara diperlukan untuk mempercepat transisi menuju energi bersih.

”Kolaborasi tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip perdagangan dan investasi, tetapi juga mempertimbangkan keuntungan antarpihak, dengan peningkatan industri lokal, konten lokal, penciptaan lapangan kerja, dan interkonektivitas regional serta pendanaan,” kata Arifin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *