Piket Independensi Beranggapan

Jaga Kebebasan Berpendapat

Jaga Kebebasan Berpendapat – Kebebasan berekanan serta terkumpul, benak dengan perkataan serta catatan yang diresmikan dengan hukum.

Angin segar berembus dari Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/4/2025). MK melarang lembaga pemerintah, institusi, atau korporasi mengadukan laporan dugaan pencemaran nama baik. gali77 Larangan itu ditegaskan MK dalam Putusan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024. Putusan ini merupakan angin segar bagi kebebasan berpendapat dan kritik publik terhadap pemerintah (Kompas, 30/4/2025).

Sebelumnya, seorang warga Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan melalui kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, mengajukan uji materi Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal itu mengatur setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud agar hal itu diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik, dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp 400 juta.

MK menilai frasa ”orang lain” dalam UU ITE itu seharusnya dimaknai sebagai pribadi dan tidak bisa dimaknai sebagai lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas tertentu, institusi, korporasi, dan/atau profesi/jabatan. Putusan MK ini juga sejalan dengan Pasal 28D UUD 1945, yang menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Memang terasa tak imbang dan tak adil jika ada warga yang mengkritisi lembaga pemerintah atau institusi lalu diseret ke arah tindak pidana.

Putusan itu menempatkan MK sebagai penjaga konstitusi, khususnya menjaga hak warga untuk merdeka berpendapat.

Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang paling fundamental dan menjadi salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Hak ini menjamin setiap individu untuk mengemukakan pikiran, ide, kritik, maupun perasaan tanpa rasa takut akan intimidasi, diskriminasi, atau kekerasan. Namun, di tengah perkembangan teknologi, dinamika politik, serta ketegangan sosial, kebebasan berpendapat sering kali berada di titik rawan. Menjaga kebebasan ini bukan hanya soal menjamin hak seseorang untuk berbicara, tetapi juga soal menjaga ruang dialog yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Fondasi Demokrasi

Di negara demokratis, kebebasan berpendapat bukan hanya sekadar hak, melainkan juga keharusan untuk menciptakan ruang publik yang hidup. Ia memungkinkan adanya kritik terhadap kebijakan pemerintah, membuka ruang diskusi tentang hal-hal yang belum sempurna, serta menjadi sarana untuk mencari solusi bersama. Demokrasi tanpa kebebasan berpendapat akan menjadi kosong, ibarat tubuh tanpa nyawa.

Dengan adanya kebebasan berpendapat, masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan politik. Masyarakat menjadi pengawas atas kekuasaan dan dapat mengoreksi jalannya pemerintahan melalui jalur damai dan rasional. Tanpa ruang untuk berpendapat, kekuasaan akan cenderung otoriter dan menutup diri dari koreksi.

Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat

Sayangnya, kebebasan berpendapat kerap kali menjadi korban ketika negara atau kelompok tertentu merasa terancam oleh suara yang berbeda. Berbagai bentuk pembatasan, baik melalui regulasi, tekanan sosial, hingga kekerasan fisik, menjadi cara untuk membungkam pendapat yang dianggap “tidak sejalan”. Fenomena ini bisa terjadi di berbagai level, mulai dari media sosial hingga parlemen.

Di era digital seperti sekarang, muncul pula ancaman baru terhadap kebebasan berpendapat: doxxing, persekusi digital, serta penyalahgunaan pasal-pasal hukum seperti UU ITE yang sering digunakan untuk membungkam kritik. Banyak individu yang akhirnya memilih diam, karena khawatir akan mengalami dampak buruk ketika mengungkapkan pendapatnya.

Ketakutan ini menciptakan apa yang disebut sebagai “budaya bungkam”. Dalam budaya ini, individu menjadi enggan berbicara, media menjadi takut memberitakan fakta, dan masyarakat kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Jika ini dibiarkan, demokrasi akan melemah secara perlahan dan berisiko mengalami kemunduran.

Menjaga Batas, Menghindari Kekacauan

Meski penting, kebebasan berpendapat juga harus dijaga agar tidak menimbulkan kekacauan atau pelanggaran terhadap hak orang lain. Kebebasan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu, dalam banyak konstitusi, termasuk UUD 1945, kebebasan ini tetap dibatasi oleh norma hukum, etika, dan kepentingan umum.

Pendapat yang mengandung ujaran kebencian, fitnah, atau hasutan kekerasan tidak dapat dibenarkan atas nama kebebasan. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara kritik yang membangun dan ujaran yang merusak. Dalam konteks ini, literasi digital dan pemahaman hukum sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak salah menempatkan diri.

Tanggung jawab juga melekat pada para tokoh publik, termasuk pejabat, jurnalis, dan influencer. Mereka harus mampu menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat tidak bertentangan dengan sikap hormat terhadap perbedaan, serta tidak digunakan sebagai alat untuk menyebar kebencian atau polarisasi.

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Pemerintah memiliki peran penting dalam menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat. Negara harus menjadi pelindung hak-hak warga negaranya, bukan justru menjadi pelaku pembatasan yang sewenang-wenang. Pemerintah dapat mengatur batas-batas kebebasan berpendapat dengan tetap mengedepankan prinsip proporsionalitas dan keadilan.

Di sisi lain, masyarakat sipil juga harus aktif dalam menjaga kebebasan ini. Melalui pendidikan, kampanye kesadaran, serta pengawasan terhadap kebijakan, masyarakat dapat memastikan bahwa kebebasan berpendapat tidak diperlakukan secara semena-mena. Media massa, LSM, akademisi, dan komunitas digital juga punya peran penting dalam memperluas wawasan publik dan menyuarakan isu-isu yang perlu diperhatikan.

Literasi dan Edukasi sebagai Kunci

Agar kebebasan berpendapat dapat digunakan secara bijak, maka literasi menjadi kunci. Masyarakat yang cerdas akan mampu memilah informasi, berpikir kritis, dan menyampaikan pendapat dengan cara yang santun. Edukasi mengenai hak-hak sipil, etika berkomunikasi, serta pemahaman terhadap hukum harus ditanamkan sejak dini, baik di lingkungan pendidikan formal maupun non-formal.

Dengan literasi yang baik, individu tidak hanya tahu apa yang boleh dikatakan, tetapi juga bagaimana cara mengatakannya dengan tepat. Ini penting untuk menjaga agar ruang publik tetap produktif, tidak bising oleh provokasi, namun kaya akan gagasan yang konstruktif.

Kesimpulan

Kebebasan berpendapat adalah anugerah dan tanggung jawab. Ia menjadi jantung dari sistem demokrasi yang sehat, tempat warga negara dapat berbicara dan mendengarkan tanpa rasa takut. Namun, kebebasan ini tidak datang begitu saja—ia harus dijaga, dipahami, dan diperjuangkan.

Dalam dunia yang terus berubah dan sering kali penuh ketegangan, menjaga kebebasan berpendapat berarti menjaga keberagaman suara. Dalam keberagaman itulah, kita bisa menemukan jalan terbaik bagi masa depan bersama. Demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin, tapi juga tentang bagaimana kita menciptakan ruang di mana semua orang bisa bicara, didengar, dan dihargai.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *