Rahasia Pelari Kenya Merajai Lari Jarak Jauh – Itu manusia atau kijang? Pertanyaan itu yang pertama kali muncul di benak ketika melihat para pelari asal Kenya berlomba di ajang-ajang lari maraton Indonesia.
Saking lari yang sangat cepat dan konstan, mereka membuat persaingan dengan pelari dari negara lain seolah tidak adil.
Menariknya, dominasi itu bukan hanya seperti dalam perumpamaan “ikan besar di kolam kecil”. Pelari-pelari Slot gacor jarak jauh asal Kenya memang menguasai dunia. Buktinya lima dari sepuluh pencatat waktu tercepat di maraton berasal dari Kenya, termasuk salah satunya pelari legendaris Eliud Kipchoge.
Lalu, bagaimana negara berpenduduk sekitar 50 juta jiwa dengan pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia itu bisa menghasilkan pelari jarak jauh yang hebat? Banyak negara dengan sumber daya dan teknologi lebih maju dalam olahraga, tetapi tidak mampu menciptakan manusia seperti Kipchoge.
Rahasia pertama adalah bakat. Mereka seperti dilahirkan untuk lari jarak jauh. Salah satu dan yang paling terkenal dari suku Kalenjin. Suku itu hanya berjumlah sekitar 5 persen dari total populasi Kenya, tetapi berhasil menyumbangkan mayoritas bakat-bakat terbaik.
Orang-orang dari suku Kalenjin memiliki tubuh ramping dan kaki jenjang. Kipchoge, misalnya, yang hanya setinggi 1,67 meter. Dia terlihat lebih tinggi dari aslinya karena kaki yang begitu ramping. Semua itu didukung dengan persentase tubuh yang sangat rendah.
David Epstein, mantan penulis Sports Illustrated sekaligus pengarang buku The Sports Gene, berkata, pergelangan kaki dan betis yang ramping sangat membantu pelari. Kaki ibarat pendulum. Pelari akan menghabiskan banyak energi dan melambat jika bagian bawah tubuh semakin berat.
Para pelari Kenya bisa menjaga tubuh ramping bagai kijang dengan diet. Mereka hanya mengonsumsi makanan sehat yang alami dan rendah lemak. Makanan andalan warga sekitar adalah ugali atau olahan tepung jagung, selain juga nasi dan kacang-kacangan. Hanya butuh sedikit ugali untuk memenuhi kebutuhan kalori.
Diet para atlet pernah dikisahkan dalam film dokumenter How One Kenyan Village Fuels The World’s Fastest Distance Runners yang tayang di kanal Youtube Olympics. Hugo van den Broek, pelatih dari pelari putri berbakat Kenya Glayds Chesir, menilai, diet tersebut membantu proses pemulihan.
“Makanan mereka selalu sehat dan selalu alami. Mereka memakan banyak sayuran. Sesekali, mereka mengonsumsi daging. Hanya saja itu seperti sebuah kemewahan. Banyak pelari maraton hanya memakan ugali karena mereka tidak punya banyak uang,” kata Van den Broek.
Bakat didukung dengan kebiasaan yang sudah menjadi gaya hidup. Dengan kondisi ekonomi yang terbatas, warga Kenya harus mengandalkan kaki sebagai alat tranpsortasi utama. Mereka sudah terbiasa berlari dengan jarak yang sangat jauh sejak masih kecil, dari saat bersekolah.
“Lari adalah sesuatu yang datang natural untuk kami. Kami dilahirkan untuk ini. Saya selalu berlari dari rumah ke sekolah sejak kecil, pulang pergi. Sehari bisa melalui 12 kilometer tanpa disadari,” kata dua kali juara New York City Marathon, Geoffrey Kamworor, kepada World Athletics.
Surga pelari
Dari sisi geografis, mereka juga diuntungkan. Mayoritas pelari Kenya datang dari wilayah Lembah Rift yang terletak sekitar 2.500 meter di atas permukaan laut. Kondisi itu membuat atlet kekurangan oksigen, tetapi bisa menghasilkan konsentrasi sel darah merah dan hemoglobin yang lebih tinggi saat berlatih.
Para pelari pun diuntungkan saat berlomba di dataran rendah, ketika pasokan oksigen berlimpah. Wilayah Lembah Rift juga dipenuhi jalan tanah yang lebih bersahabat untuk otot kaki pelari dibandingkan berlatih di jalan aspal. Adapun suhu di wilayah itu sangat kondusif untuk berlari, sekitar 10 – 22 derajat celsius.
Banyak kamp pemusatan latihan yang ditempatkan di wilayah itu. Kamp paling terkenal adalah Kaptagat yang melahirkan Kipchoge. Para atlet terbaik akan berlatih bersama-sama untuk menjadi yang terbaik. Mereka sudah berkompetisi sejak dari kamp.
Lantas, apakah bakat, gaya hidup, dan dukungan wilayah sudah cukup? Menurut Patrick Sang, pelatih di Kaptagat yang berstatus olimpian, semua itu belum cukup. Kipchoge, buktinya. “Eliud bukan atlet paling berbakat di grup kami, tetapi yang paling berdedikasi,” kata Sang kepada Olympics.com.
“Anda pernah melihatnya berlatih? Dia seperti mesin. Jarak dari rumahnya ke pemusatan latihan hanya sekitar 45 menit. Dia bisa menghabiskan waktu selama libur latihan untuk bertemu keluarga. Akan tetapi, dia selalu tetap di kamp bersama pelari lain, mengisolasi diri dari dunia,” lanjutnya.
Dedikasi, prestasi, dan inspirasi telah menjadi siklus yang terus berputar di Kenya. Banyak anak-anak yang terinspirasi menjadi pelari karena tetangga atau lingkungan sekitar. Mereka sudah semakin menyadari dengan semua yang dimiliki, cara terbaik untuk mengubah nasib adalah dari lari.