Jika ada negara di benua Afrika yang namanya kerap muncul dalam perbincangan tentang kekacauan dan ketidakstabilan, Republik Afrika Tengah (Central African Republic/CAR) adalah salah satunya. Negeri tanpa pantai di jantung Afrika ini telah lama dicap sebagai kawasan rawan konflik, bagaikan bara dalam sekam yang tak kunjung padam. Di balik warta internasional yang sesekali menyorot, CAR tetap bergelut dalam perang saudara, pelecehan HAM, dan bahaya kemanusiaan yang tidak mudah diredam hanya dengan gencatan senjata.
Sisi Gelap Sebuah Negara Tanpa Pantai
Republik Afrika Tengah, dengan luas wilayah hampir setara Prancis namun dihuni kurang dari 6 juta jiwa, ibarat negeri yang dihantui mimpi buruk sejarah. Sejak memperoleh kemerdekaan dari Prancis tahun 1960, CAR tak pernah benar-benar merasakan stabilitas. Kudeta datang silih berganti. Pergantian presiden lebih sering diwarnai suara laras senjata, bukan lewat pemilu damai. Hanya dalam dua dekade terakhir, setidaknya ada tiga kali pergantian pemerintahan secara paksa—angka yang mengerikan jika dibandingkan dengan negara tetangganya.
Konflik Bersenjata: Akar Masalah yang Tak Mudah Dicabut
Salah satu pemicu utama krisis CAR adalah konflik antara kelompok milisi. Pemerintah pusat di Bangui, ibukota negara, kerap gagal mengendalikan kekuatan milisi seperti Seleka (kelompok mayoritas muslim) dan Anti-balaka (milisi yang didominasi kristiani). Perseteruan dua kelompok ini sejak 2013 memicu eksodus besar-besaran dan mendatangkan krisis pengungsi yang meluas.
Seorang peneliti dari Human Rights Watch, Lewis Mudge, pernah berkata kepada BBC, “Di banyak wilayah Republik Afrika Tengah, negara nyaris tak ada. Yang berkuasa adalah kelompok bersenjata yang membagi-bagi wilayah layaknya feodalisme purba.” Pernyataan ini menyiratkan betapa lemahnya institusi negara di CAR—fenomena yang dimanfaatkan kelompok bersenjata untuk memungut pajak, melakukan pemerasan, bahkan merekrut anak-anak sebagai tentara.
Harga Kemanusiaan: Rakyat Sipil yang Selalu Jadi Korban
Menurut data terbaru dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), lebih dari 3 juta warga CAR membutuhkan bantuan kemanusiaan pada 2025. Sekitar setengah populasi terancam kelaparan kronis akibat aktivitas ekonomi yang stagnan serta blokade jalur distribusi oleh milisi. Kisah Sifa, seorang ibu muda yang terpaksa meninggalkan desanya karena baku tembak, hanya satu dari sekian banyak tragedi. Ia dan ribuan pengungsi lain kini hidup di kamp pengungsian di luar Bangui, bersandar pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.
Anak-anak, kelompok paling rentan, juga jadi mangsa empuk buruknya sistem keamanan. UNICEF melaporkan lonjakan kasus kekerasan pada anak, eksploitasi seksual, dan perekrutan paksa selama 2023–2024. Salah satu kasus tragis dialami oleh seorang bocah laki-laki bernama Emmanuel yang diculik kelompok milisi di dekat Kota Bambari. Ia akhirnya berhasil kabur berkat bantuan relawan lokal, namun hidupnya berubah selamanya.
Ketertarikan Internasional dan Politik Global
Pertanyaan menarik, mengapa dunia tampak tak berdaya menghadapi krisis CAR? Salah satu alasannya adalah posisi strategis negara ini. CAR kaya sumber daya alam—mulai dari emas, berlian, hingga uranium. Beberapa pengamat menilai konflik yang terus berlangsung adalah bentuk proxy war berkepanjangan, dengan Rusia, Prancis, dan beberapa negara Afrika lain ikut “bermain” melalui dukungan kepada milisi lokal.
Pasukan penjaga perdamaian PBB (MINUSCA) sudah hadir sejak 2014, namun berulang kali menjadi sasaran kekerasan. Profesor Paul Melly dari Chatham House berpendapat, “Pasukan penengah tidak bisa menopang stabilitas jika akar masalah politik dan ekonomi tak pernah diselesaikan.” Sementara upaya mediasi terus dilakukan, perebutan wilayah dan sumber daya terus memanaskan konflik.
Jalan Panjang Menuju Stabilitas: Harapan yang Tak Pernah Mati
Tidak mudah memang memulihkan negara yang terjebak siklus kekerasan berkepanjangan. Namun saya percaya, harapan selalu ada selama dunia dan masyarakat internasional mau berbuat lebih dari sekadar mengirim bantuan kemanusiaan. Reformasi institusi, penguatan ekonomi lokal, dan pemberdayaan masyarakat sipil harus jadi fokus utama. Gerakan akar rumput yang terus berjuang memperjuangkan rekonsiliasi di berbagai wilayah CAR adalah contoh nyata, betapa semangat perdamaian tidak pernah benar-benar mati di negeri ini.
Melihat kondisi lapangan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Di antaranya memastikan partisipasi perempuan dan anak muda dalam proses damai serta menutup celah perdagangan ilegal yang jadi tumpuan utama kelompok bersenjata.
Kesimpulan: Realitas yang Tak Boleh Diabaikan
Republik Afrika Tengah adalah cermin betapa rawan dan kompleksnya dunia modern ketika pembangunan tidak sejalan dengan keadilan dan keamanan. Negeri ini masih membutuhkan intervensi cerdas dan kemauan politik yang sungguh-sungguh dari banyak pihak. Bukan hanya demi warganya, namun demi stabilitas kawasan dan kemanusiaan itu sendiri. Saya percaya, dengan kemauan kolektif, CAR punya peluang untuk bangkit dari trauma sejarah menuju masa depan yang lebih damai dan stabil.
Artikel ini disponsori oleh rajaburma88, portal terbaik untuk permainan online—baca selengkapnya di
Rajaburma88