Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik

Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik - Peta Jalan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Perlu Lebih Transparan.

Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik – Peta Jalan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Perlu Lebih Transparan.

Pemerintah didesak agar terbuka burung77 memaparkan peta jalan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) secara lebih terperinci, termasuk tindakan pengamanan dan perlindungan privasi. Hal ini akan mendorong tata kelola pusat data nasional, sebagai infrastruktur SPBE, semakin akuntabel mulai dari penganggaran hingga standar keamanan.

”Pembangunan Pusat Data Nasional (PDN) merupakan mandat dari kebijakan SPBE. PDN diharapkan dapat mendukung integrasi dan interoperabilitas data pemerintah. Oleh karena itu, setelah kasus serangan siber ke PDN sementara harus dilakukan audit secara menyeluruh, baru pemerintah mengembangkan lagi peta jalan SPBE yang lebih terarah,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, Senin (1/7/2024), di Jakarta.

Menurut dia, situasi sengkarut PDN yang dipicu oleh serangan siber PDNS semestinya membuat pemerintah lebih realistis. Sengkarut ini muncul karena salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemerintah ingin mempercepat pembangunan PDN dan implementasi SPBE, bahkan sampai mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional.

Problemnya, pelaksanaan Perpres No 82/2023 banyak dilakukan secara sektoral, padahal tujuan akhirnya ialah integrasi dan keterpaduan data. Akibatnya yaitu risiko meningkat lebih tinggi.

”Dari awal pemaksaan percepatan integrasi data seluruh instansi pemerintah pusat-daerah melalui PDN yang akhirnya memunculkan PDNS, tetapi mengesampingkan aspek-aspek krusial keamanan data. Misalnya, memastikan backup data pada infrastruktur komputasi awan yang berbeda,” katanya.

Terkait potensi permintaan anggaran untuk proyek PDN dan PDNS karena sengkarut serangan siber PDNS butuh penanganan lebih, Wahyudi berpendapat, DPR semestinya bisa menahan pemerintah. Apalagi pemerintah belum mampu menunjukan peta jalan pengembangan SPBE secara lebih terperinci, termasuk tindakan pengamanan dan perlindungan privasi, dan belum melakukan audit PDN-PDNS mulai dari penganggaran hingga standar keamanan.

”DPR bisa membuat panja khusus untuk mengawasi secara simultan lalu memberikan laporan yang akuntabel secara berkala ke masyarakat,” tuturnya.

Salah satu substansi penting dari tata kelola SPBE sesuai Perpres No 95/2018 tentang SPBE dan Peraturan Pemerintah No 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik ialah mengharuskan penyelenggara sistem elektronik publik untuk memproses dan menyimpan datanya di wilayah Indonesia. Padahal, menurut Wahyudi, hal terpenting yaitu memastikan keamanan dalam pemrosesan data bukan terletak pada lokasi geografis data disimpan, melainkan sistem keamanan yang kuat dan maksimal.

”Apalagi dalam konteks data elektronik yang diproses secara otomatis dan bersifat lintas batas. Pelindungan data tidak lagi menekankan pada lokasi data itu disimpan, tetapi langkah-langkah dalam pengamanan,” katanya.

Sementara itu, Chairman Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO) Hendra Suryakusuma berpendapat, ketika pemerintah yang sebenarnya adalah regulator pusat data tetapi coba menjadi operator pusat data, maka implikasinya menjadi semakin kompleks. Misalnya, kekhawatiran ada tidaknya infrastruktur yang memadai untuk mengelola infrastruktur fasilitas pusat data, infrastruktur teknologi informasi, dan infrastruktur komputasi awan.

Dalam sengkarut PDN yang dipicu masalah serangan siber PDNS, dia mengamati ada prinsip ataupun pilar SPBE yang tidak berjalan dengan baik. Sebagai contoh, prinsip akuntabel dan pilar mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersif, efektif, dan transparan. Ditambah lagi, permasalahan kesiapan pengelolaan.

”Pengalaman di negara lain, seperti Amerika Serikat dan China, pemerintahnya menyerahkan pengembangan fasilitas pusat data nasional ke pihak swasta yang tentunya melewati tender yang ketat dan transparan. Ada data publik yang sifatnya rahasia tetap dikelola oleh pemerintah,” kata Hendra.

Hendra mengklaim, semua operator fasilitas pusat data yang ada di Indonesia saat ini sudah tergolong mumpuni. Infrastruktur fasilitas pusat data, komputası awan, hingga sumber daya manusianya sudah sangat siap.

Jika ada kerja sama pengembangan fasilitas pusat data nasional pemerintah- swasta, dia melanjutkan, hal itu akan mendorong efisiensi belanja modal negara. Sebab, kebutuhan anggaran membangun fasilitas pusat data berkapasitas 1 megawatt (MW) saja untuk fasilitas tier 3 sudah mencapai Rp 100 miliar. Jika total kapasitasnya 50 MW, belanja anggaran untuk pembangunan mencapai Rp 5 triliun.

Apabila pemerintah menggunakan anggaran sebesar itu untuk pembangunan fasilitas pusat data nasional, hal itu akan kurang pas. Menurut dia, dana sebesar itu bisa dialihkan untuk pengelolaan layanan. Pemerintah cukup memperkuat perjanjian tingkat layanan, rutin memonitor, dan memutuskan jenis data apa yang disimpan. Swastalah yang akan menanggung besarnya biaya pembangunan fasilitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *