Tak Semua Pekerjaan Akan Direbut AI – Apa pun zamannya, tukang leding dan pekerjaan kerah biru yang memerlukan kreativitas dan komunikasi.
Generasi Z ogah melakukan pekerjaan kerah biru? Tidak juga, tuh. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, mayoritas Gen Z tidak memiliki ijazah perguruan tinggi. Malah, di zaman sekarang, justru sejumlah pekerjaan kerah biru selalu diperlukan dan tidak akan digantikan oleh kecerdasan buatan atau alexa99.
Hal itu tertuang dalam laporan penelitian Resume Now yang terbit pada 2 Mei 2025. Hasil laporan itu dikutip berbagai media arus utama, antara lain CNET, New York Times, dan USA Today.
Laporan Resume Now itu berkorelasi dengan statistik yang dikeluarkan lembaga Education Data Initiative per 14 Januari 2025. Dikatakan, pada kalangan warga AS berumur 25 tahun ke atas, 91,4 persen lulus SMA sederajat dan sisanya putus sekolah. Di antara para lulusan SMA, hanya 38,3 persen yang memiliki ijazah perguruan tinggi.
Apabila diturunkan ke kalangan umur 18-19 tahun, sebanyak 60,9 persen memiliki ijazah SMA dan 1,6 persen memiliki ijazah sederajat, mirip dengan program Paket C di Indonesia. Sisanya masih menimba ilmu di sekolah.
Artinya, mayoritas Gen Z diperkirakan bergerak ke jenis-jenis pekerjaan kerah biru. Pekerjaan ini tidak bermodal dengkul, melainkan keterampilan yang diperoleh dari kursus ataupun pelatihan khusus. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan ini tidak bisa digantikan oleh otomasi maupun AI.
Pekerjaan ini benar-benar di bidang yang memerlukan sentuhan manusia, tidak cuma di dalam praktiknya, tetapi juga komunikasinya,” kata Keith Spencer, peneliti di Resume Now.
Ketika disilangkan dengan data Biro Statistik Ketenagakerjaan AS, upahnya juga lumayan, yakni minimal 50.000 dollar AS per tahun. Persamaan dari pekerjaan-pekerjaan itu ialah lingkungan kerja yang tidak menentu atau tidak terjadwal, memerlukan keterampilan halus, dan memerlukan kemampuan berpikir kreatif serta taktis.
Tukang leding dan tukang listrik masuk kategori pekerjaan ini. Kisaran gajinya 60.000-62.000 dollar AS per tahun. Menurut analisis, ada beberapa bagian pemasangan leding dan listrik yang bisa menggunakan alat bantu teknologi digital.
Namun, lingkungan kerjanya sangat tidak bisa diprediksi. Setiap gedung, rumah, ataupun infrastruktur memiliki desain dan kebutuhan yang berbeda-beda sehingga memerlukan pendekatan yang kreatif.
Jenis pekerjaan berikutnya ialah jurutama masak atau koki. Teknologi bisa membantu menakar bahan masakan. Proses memasaknya sendiri memerlukan sentuhan manusia.
Bagaimanapun, tidak ada teknologi yang bisa menggantikan kemampuan manusia merasa. Demikian pula kemampuan manusia menciptakan kreasi kuliner baru serta seni menghidangkan makanan agar menggugah selera.
Perencana pesta dan kegiatan lainnya. Bidang ini mencakup event organizer (EO), perencana paket liburan, dan berbagai kegiatan perekat sosial untuk lingkungan kerja, sekolah, ataupun personal.
Ini bidang yang sangat membutuhkan kemampuan berkomunikasi dengan klien ataupun pelaku usaha. Perencana acara harus pandai menyusun kegiatan yang sesuai sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan anggaran klien. Tingkat pemahaman emosional di pekerjaan ini tidak bisa digantikan teknologi.
Sektor jasa adalah tempat yang relatif aman dari ancaman AI. Kalaupun otomasi masuk, perannya untuk membantu manusia, bukan menggantikan tugas manusia. Mirip dengan perencana acara, pengelola hotel dan penginapan juga demikian.
Para staf hotel harus mampu memberi kenyamanan kepada tamu mereka. Secanggih-canggihnya teknologi memodernisasi layanan, interaksi sesama manusia tetap memberi rasa aman, nyaman, dan persahabatan. Ini yang membuat tamu merasa puas menjalani liburan ataupun masa dinas.
Petugas perawatan permesinan dan peralatan juga masih diperlukan. Perangkat yang dipakai untuk kerja boleh sangat canggih, tetapi pemecahan persoalan di tempat memerlukan kemampuan berpikir kreatif yang hanya dimiliki manusia.
Menurut laporan firma Deloitte, dalam sepuluh tahun mendatang setidaknya ada 3,8 juta lowongan pekerjaan kerah biru yang tersedia. Hal ini karena angkatan kerja di atas Gen Z menua dan pensiun.
Persoalannya, mayoritas pekerjaan itu ada di industri manufaktur padat karya. Deloitte dan Manufacturing Institute menemukan, Gen Z malah tidak tertarik dengan pekerjaan kerah biru yang padat karya.
Gen Z tertarik dengan vokasi kerah biru yang memungkinkan mereka mengatur sendiri jadwal kerja ataupun klien yang akan dilayani. Industri padat karya tidak memberi ruang untuk itu karena terpaku pada jadwal 09.00-17.00 yang tidak diminati anak muda,” tulis laporan tersebut.
Majalah Fortune edisi 17 April 2025 melaporkan, di AS, faktor lain yang membuat industri padat karya tidak menarik ialah lambannya kenaikan upah. Hal ini karena tarik menarik antara pemilik modal dan serikat pekerja yang kerap menekan daya tawar para pekerja.
Pada dasarnya, anak-anak zaman sekarang semakin terdidik di bidang yang mereka sukai berkat berbagai konten keterampilan di internet. Kesempatan kerja di bidang yang tidak memerlukan gelar sarjana kian terbuka,” kata ekonom Universitas California San Diego, Kyle Handley, kepada Business Insider.
Pekerjaannya boleh kerah biru, tetapi aktualisasi diri jalan terus. Vokasi ini memerlukan kreativitas dan keterampilan berkomunikasi yang bisa menjadi ciri khas setiap individu yang menyediakan layanan di bidang tersebut.
Handley menuturkan, ini yang membuat industri padat karya tidak menarik bagi anak muda. Mereka menganggap, berdiri di jalur perakitan di pabrik tidak memberi nilai tambah bagi perkembangan diri.
Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah menjadi salah satu teknologi paling revolusioner yang memengaruhi berbagai sektor industri di dunia. Mulai dari otomasi pabrik hingga asisten virtual yang canggih, AI telah menunjukkan kemampuannya dalam mengubah cara manusia bekerja. Namun, muncul kekhawatiran luas bahwa AI akan mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia. Benarkah semua pekerjaan akan terancam?
Menurut sejumlah pakar, kekhawatiran tersebut tidak sepenuhnya beralasan. Meski AI memang memiliki potensi menggantikan beberapa jenis pekerjaan, banyak pekerjaan lain yang justru akan tetap eksis – bahkan berkembang – di era otomatisasi.
Pekerjaan yang Rentan Digantikan AI
Sebelum membahas pekerjaan yang aman dari AI, penting untuk memahami jenis pekerjaan apa yang paling rentan. Pekerjaan yang bersifat berulang, berbasis aturan jelas, dan dapat diprogram dengan logika sistematis cenderung lebih mudah diotomatisasi. Contohnya termasuk operator mesin, kasir, entri data, atau layanan pelanggan dasar.
“AI sangat efektif untuk tugas-tugas yang bisa diprediksi dan memiliki pola yang konsisten,” jelas Dr. Rendra Wijaya, pakar teknologi informasi dari Universitas Indonesia. “Jika pekerjaan bisa ditulis dalam bentuk algoritma, maka kemungkinan besar pekerjaan itu bisa digantikan mesin.”
Laporan Forum Ekonomi Dunia tahun 2024 menyebutkan bahwa sekitar 44% tugas di sektor administrasi dan manufaktur akan mengalami otomatisasi pada tahun 2030. Ini sejalan dengan tren perusahaan yang terus mencari efisiensi biaya dan kecepatan operasional.
Namun, ini bukan berarti seluruh jenis pekerjaan akan hilang.
Pekerjaan yang Tak Tergantikan
Meskipun AI berkembang pesat, masih banyak jenis pekerjaan yang sulit – jika bukan mustahil – digantikan sepenuhnya oleh mesin. Pekerjaan-pekerjaan ini biasanya melibatkan kreativitas, empati, penilaian moral, intuisi, serta interaksi sosial tingkat tinggi.
1. Pekerjaan Kreatif
Profesi seperti penulis, desainer, seniman, fotografer, dan sutradara masih sangat bergantung pada sentuhan manusia. Meskipun AI bisa menghasilkan gambar atau teks, hasilnya sering kali kurang autentik secara emosional atau kultural.
“AI bisa meniru, tapi ia belum bisa menggantikan orisinalitas dan makna di balik karya seni,” kata Ayu Paramita, seorang ilustrator lepas. “Karya seni bukan hanya soal estetika, tapi juga tentang cerita dan emosi personal.”
2. Profesi di Bidang Kesehatan
Dokter, perawat, psikolog, dan terapis adalah contoh profesi yang mengandalkan kemampuan empati, komunikasi interpersonal, dan penilaian klinis berdasarkan kondisi unik setiap pasien. AI bisa membantu menganalisis data atau mendukung diagnosis, namun keputusan akhir tetap membutuhkan manusia.
“Pasien butuh didengar, dipahami, dan diyakinkan,” ujar dr. Indra Kurniawan dari RSUP Persahabatan. “Sampai hari ini, itu belum bisa dilakukan robot dengan efektif.”
3. Pendidikan dan Pengasuhan
Guru, dosen, dan pendidik memainkan peran penting dalam pembentukan karakter dan kemampuan sosial anak-anak. Meskipun pembelajaran daring dan chatbot AI bisa mendukung proses belajar, kehadiran seorang pendidik nyata tetap penting untuk membimbing, memotivasi, dan memberi nilai yang tidak bisa diukur hanya dengan skor.
Hal serupa juga berlaku dalam bidang pengasuhan anak dan perawatan lansia. Kebutuhan akan kehangatan emosional dan interaksi manusia tidak tergantikan oleh mesin secanggih apa pun.
4. Profesi Etis dan Kepemimpinan
Profesi seperti pengacara, hakim, diplomat, dan pemimpin organisasi membutuhkan penilaian berdasarkan nilai moral, hukum, serta intuisi sosial. AI tidak memiliki kemampuan moral atau nilai-nilai etis, sehingga tidak dapat mengambil keputusan yang penuh pertimbangan kemanusiaan.
“Pemimpin yang baik bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga pembentuk budaya dan inspirasi,” kata Nadine Safitri, konsultan manajemen SDM. “Itu kualitas yang tidak bisa dibentuk oleh AI.”
AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti
Alih-alih melihat AI sebagai ancaman, banyak pihak mulai mengadopsi pendekatan bahwa AI harus dilihat sebagai alat bantu yang memperkuat pekerjaan manusia. AI dapat menyederhanakan pekerjaan administratif, mempercepat analisis data, dan memberikan wawasan berbasis algoritma. Hal ini memungkinkan manusia untuk fokus pada aspek-aspek pekerjaan yang lebih strategis, kreatif, dan empatik.
Dalam bidang jurnalistik, misalnya, AI dapat membantu menyusun draft berita atau menganalisis tren pembaca, namun tetap dibutuhkan jurnalis untuk menyusun narasi yang kuat dan melakukan verifikasi fakta.
Demikian pula dalam sektor perbankan, chatbot AI dapat menangani pertanyaan umum pelanggan, sementara karyawan manusia menangani masalah yang kompleks dan bersifat emosional.
Adaptasi dan Pendidikan Jadi Kunci
Perubahan lanskap kerja akibat AI menuntut penyesuaian dari berbagai pihak, terutama tenaga kerja dan lembaga pendidikan. Keterampilan seperti berpikir kritis, komunikasi, empati, serta pemahaman teknologi akan menjadi sangat penting di masa depan.
Pemerintah dan institusi pendidikan di berbagai negara telah mulai mengembangkan kurikulum yang menyesuaikan dengan kebutuhan masa depan. Di Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong integrasi teknologi dan soft skill dalam pembelajaran sejak usia dini.
“Transformasi digital tidak boleh hanya dilihat dari sisi teknologi, tetapi juga kesiapan manusianya,” ujar Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam sebuah konferensi tahun lalu.
Penutup
Kecerdasan buatan memang akan mengubah dunia kerja secara signifikan. Beberapa jenis pekerjaan akan berkurang, namun banyak pula yang akan tetap bertahan bahkan berkembang. Kuncinya terletak pada kemampuan manusia untuk beradaptasi, belajar sepanjang hayat, dan fokus pada kualitas-kualitas yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
Sebagai alat, AI akan sangat bermanfaat jika digunakan secara bijak. Namun sebagai pengganti manusia seutuhnya? Tak semua pekerjaan akan direbut oleh AI – karena menjadi manusia adalah sesuatu yang tak bisa diprogram.