Tragedi Bus di Subang

Tragedi Bus di Subang - Tragedi Bus di Subang, Cegah Konsumen Jadi Korban Berkali-kali. Tragedi kecelakaan bus pariwisata di Subang, Jawa

Tragedi Bus di Subang – Tragedi Bus di Subang, Cegah Konsumen Jadi Korban Berkali-kali. Tragedi kecelakaan bus pariwisata di Subang, Jawa Barat, menyibak lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum transportasi di Indonesia.

Alih-alih mereduksi jatuhnya korban dan peristiwa serupa, konsumen justru menjadi korban berkali-kali. Korban kecelakaan bus itu sendiri, dan korban atas banyaknya aturan yang dilanggar.

Total 64 orang menjadi korban kecelakaan bus di Subang, (Kompas.id, 11/5/2024). Sebanyak 11 orang di antaranya venetian89 meninggal, lainnya luka berat dan luka ringan.

Sebanyak 10 korban meninggal adalah penumpang bus Trans Putera Fajar bernomor polisi AD 7524 OG. Korban lainnya adalah pengguna jalan yang ditabrak bus.

Tercatat ada satu mobil dan tiga sepeda motor yang dihantam bus yang tergelincir saat menuruni jalan raya di Desa Palasari, Kecamatan Ciater, Subang, Sabtu, (11/5/2024) itu. Rem bus diduga blong saat bus mengangkut rombongan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Lingga Kencana, Depok, yang tengah dalam perjalanan pulang dari acara perpisahan sekolah di Bandung, Jawa Barat.

Sekretaris Perusahaan Jasa Raharja Dodi Apriansyah saat dihubungi dari Jakarta, Senin (13/5/2024), mengatakan, proses pemberian santunan masih berlangsung. Sebanyak 47 korban telah menerima santunan. Sebanyak 11 korban tewas telah mendapat santunan Rp 50 juta per orang.

Sisanya, 36 korban luka-luka lain, mendapat jaminan perawatan rumah sakit (RS) maksimum Rp 20 juta per orang. Besaran ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.

”Kami sedang proses terkait santunan, memastikan bahwa orang yang menerima benar korban kasus kecelakaan Subang. Kami akan pastikan kebenaran jumlah korban dalam kasus itu serta identitasnya. Kami pastikan dahulu untuk keterjaminannya,” ujar Dodi.

Kecelakaan menguak buruknya tata kelola transportasi darat. Hal itu tecermin dari dugaan berbagai pelanggaran yang terjadi pada pengoperasian bus Trans Putra Fajar.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub), bus Trans Putera Fajar tak tercatat dalam aplikasi Mitra Darat. Aplikasi itu merupakan platform multilayanan berisi beragam informasi satu pintu terkait pengawasan, perizinan, dan pengoperasian bidang transportasi darat.

Bus Trans Putera Fajar diduga tak mengantongi izin angkutan. Status lulus uji berkala (BLU-e) hanya berlaku hingga 6 Desember 2023. Artinya, kendaraan ini tak dilakukan uji berkala perpanjangan tiap enam bulan sekali sebagaimana ketentuan berlaku.

Ketua Bidang Angkutan Orang Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Kurnia Lesani Adnan juga menyampaikan ada perbedaan fisik bus Trans Putera Fajar dengan bentuk aslinya. Bentuk terbarunya tak sesuai dengan bentuk armada saat uji kendaraan (KIR) pertama kali dilakukan. KIR pertama dilaksanakan saat bus baru saja menuntaskan perbaikan total dari wujud sebelumnya.

Badan bus yang mengalami kecelakaan telah mengalami perubahan struktur rangka utamanya. Ketinggian badan bus dinaikkan dari kondisi sebelumnya.

”Ini yang membuat bus terbanting terbalik saat pengemudi banting setir ke kanan,” ujar Sani.

Akademisi Institut Transportasi Logistik (ITL) Trisakti, Jakarta, Suripno menilai kendaraan yang dimodifikasi wajib melakukan uji tipe ulang. Modifikasi mengacu pada perubahan fungsi dan fisik, termasuk dimensi.

”Kalau dimensinya seperti (fisik) lama, prinsip fungsi seperti yang lama, tak apa-apa. Itu bukan modifikasi. Namun, kalau ada salah satu saja dari perubahan bentuk, ukuran, dan fungsi, maka harus uji tipe,” tutur Suripno.

Fakta adanya modifikasi pada armada, lanjut Suripno, bisa dianggap bahwa unit itu tak laik jalan. ”Adanya perubahan ukuran saja itu sudah tergolong tak laik jalan sekaligus melanggar uji tipe kalau belum dilakukan uji tipe,” kata Suripno.

Perdebatan pun terjadi terkait pemberian santunan kepada korban kecelakaan pada armada yang telah melakukan modifikasi bentuk. Adnan menilai pemberian santunan itu bertentangan dengan Keputusan Direksi PT Jasa Raharja Nomor KEP/132/2023 pada 2 Oktober 2023 tentang Tidak Memberikan Santunan kepada Korban Kecelakaan yang Mengalami Kasus Kecelakaan.

Dalam aturan tersebut dinyatakan tak semua korban kecelakaan bisa menerima santunan. Salah satunya adalah jika kendaraan yang mengalami kecelakaan dimodifikasi.

Adnan menyayangkan pemberian santunan itu karena meskipun regulasi tidak terpenuhi, semua bisa diakomodasi dengan dalih kemanusiaan.

”Jasa Raharja turut serta membuat praktik penyelenggaraan angkutan ilegal subur karena selalu ’tampil’ di mana pun ada kecelakaan. Ia turut merusak ekosistem transportasi negara ini,” ujar Sani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *