Turbulensi Tak Terdeteksi – Turbulensi Tak Terdeteksi Singapore Airlines SQ321. Pesawat Singapore Airlines mengalami turbulensi ketika mengudara di atas Samudra Hindia yang turun 6.000 kaki atau sekitar 1.800 meter dalam tiga menit.
Penerbangan dari London, Inggris, ke Singapura itu mengakibatkan seorang lelaki Britania tewas, sedangkan 30 penumpang lainnya terluka. Pesawat bertipe Boeing 777-300ER itu terpaksa mendarat darurat di Bandara Svarnabhumi, Bangkok, Thailand, pada Selasa (21/5/2024).
Penyebab pasti korban tewas berusia 73 tahun itu masih dalam investigasi. Otoritas mengatakan, bisa saja korban topgaming77 tersebut mengalami serangan jantung meski hal ini pun belum bisa dikonfirmasi. Sepuluh ambulans dan sejumlah mobil pemadam kebakaran diterjunkan manajemen bandara untuk membantu proses evakuasi para penumpang.
Singapore Airlines bernomor penerbangan SQ321 ini membawa 211 penumpang dan 18 awak pesawat. Menurut data pelacakan FlightRadar 24, pesawat saat itu ada di ketinggian 37.000 kaki di atas permukaan laut kala turbulensi terjadi. Tiba-tiba pesawat menukik tajam, turun signifikan hingga ke titik 31.000 kaki dalam tiga menit.
Pesawat berhasil bertahan pada ketinggian 31.000 kaki atau sekitar 9.400 meter selama kurang dari 10 menit, sebelum turun cepat dan mendarat di Bangkok kurang dari 30 menit. Penurunan itu terjadi saat penerbangan di atas Laut Andaman mendekati wilayah teritorial Myanmar (Kompas.id, 21/5/2024).
Menanggapi hal ini, mantan pilot penerbangan komersial, Kapten Hanafi Herlim, mengemukakan, kejadian turbulensi berat yang dialami penerbangan SQ321 tergolong ekstrem dan sangat jarang terjadi.
”Kejadian ini tidak bisa dideteksi pilot, oleh mata, dan radar cuaca. Sebab, peristiwa ini terjadi pada saat cuaca terang benderang, clear tidak terjadi apa-apa,” katanya.
Fenomena ini disebut turbulensi udara jernih (clear air turbulence/CAT). Kondisinya yang tak terdeteksi, tak terlihat, dan tak teridentifikasi ini mengakibatkan pilot tak bisa memantau tanda-tanda adanya CAT.
Hanafi menambahkan, CAT cenderung terjadi pada musim panas saat kondisi cuaca cerah. Sebab, keberadaannya tak terdeteksi mata, bahkan alat radar. Sebaliknya, adanya turbulensi pada musim hujan akan terlihat pada radar. Sebab, alat itu akan menunjukkan kondisi cuaca buruk, awan bergumpal yang ditandai warna merah, sehingga pilot bisa menghindar. Pilot bisa menghindari turbulensi 10-20 menit sebelum pesawat memasuki area tersebut.
Dalam konteks Indonesia, turbulensi berat semacam CAT bisa saja terjadi sewaktu-sewaktu. Kondisi geografis suatu wilayah tak berpengaruh sebagai faktor pembentuk CAT.
Apa itu turbulensi?
Turbulensi merupakan udara tidak stabil yang bergerak secara tak terprediksi. Banyak orang mengasosiasikannya dengan badai besar, tetapi jenis paling berbahaya adalah turbulensi udara jernih (clear-air) yang biasanya terjadi tanpa tanda-tanda di langit.
Turbulensi udara jernih paling sering terjadi di dalam atau dekat dengan sungai di dataran tinggi yang disebut arus jet. Penyebabnya adalah wind shear (pergeseran angin) alias angin yang berubah tiba-tiba dalam waktu cepat. Peristiwa itu bisa terjadi ketika dua udara bermassa besar saling berdekatan kemudian bergerak pada kecepatan yang berbeda.
Apabila perbedaannya cukup signifikan, atmosfer tak dapat menahan tekanan sehingga berubah menjadi pola turbulensi seperti pusaran air. Tipe turbulensi ini bisa terjadi, bahkan ketika langit dalam kondisi jernih, tanpa awan.
”Ketika Anda mengalami pergeseran angin dekat arus jet, kemudian memicu udara meluap, hal itu membentuk gerakan yang kacau di udara,” ujar Ketua Departemen Terapan Ilmu Aviasi di Embry-Riddle Aeronautical University di Florida, Thomas Guinn.
Seberapa sering cedera akibat turbulensi?
Identifikasi jumlah cedera karena turbulensi cukup sulit, tetapi beberapa negara memublikasikan data nasionalnya.
Lebih dari sepertiga insiden dari semua maskapai di Amerika Serikat (AS) pada 2009-2018 berkorelasi dengan turbulensi. Mayoritas berimbas pada satu atau lebih luka berat, tetapi tak menimbulkan kerusakan pada pesawat, seperti dilaporkan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS.
Dalam rentang waktu 2009-2021, sedikitnya 163 orang luka berat selama turbulensi hingga membutuhkan perawatan rumah sakit sekitar dua hari. Kebanyakan korban merupakan pramugari/pramugara yang cenderung meninggalkan kursinya selama perjalanan berlangsung.
”Bukan hal yang biasa mengalami turbulensi yang berdampak pada luka ringan hingga, sebut saja, patah tulang. Namun, kejadian fatal amat sangat jarang terjadi, terutama pada pesawat besar,” kata ilmuwan di National Science Foundation’s National Center for Atmospheric Research, Larry Cornman.