Uang Kuliah Mahal

Uang Kuliah Mahal - Uang Kuliah Mahal, ”Student Loan” Dikaji agar Tidak Memberatkan. Pemerintah sedang menggodok skema pinjaman pendidikan

Uang Kuliah Mahal – Uang Kuliah Mahal, ”Student Loan” Dikaji agar Tidak Memberatkan. Pemerintah sedang menggodok skema pinjaman pendidikan atau student loan untuk menyikapi isu mahalnya biaya kuliah.

Skema pinjaman itu masih dikaji secara mendalam topgaming77 agar tidak malah menjebak mahasiswa dalam jerat utang jangka panjang. Pinjaman perlu disesuaikan dengan level pendapatan dan kemampuan ekonomi mahasiswa setelah lulus.

Sejauh ini, ada dua opsi skema pinjaman yang mengemuka. Pertama, pinjaman berbasis mortgage atau kredit jangka panjang dengan hak tanggungan. Skema ini menyerupai student loan di Amerika Serikat dan Kanada. Dalam sistem ini, tenor pembayaran sudah ditetapkan sejak awal. Tipe pinjaman ini biasanya lebih memberatkan dengan potensi gagal bayar yang lebih besar.

Kedua, sistem pinjaman berbasis pendapatan atau Income Contingent-Loan (ICL). Dalam skema ini, pembayaran cicilan disesuaikan dengan level pendapatan mahasiswa setelah lulus. Mahasiswa baru mulai membayar pinjaman setelah pendapatannya mencapai level tertentu. Semakin kecil gajinya, semakin kecil pula cicilan yang ditanggung, demikian pula sebaliknya.

Kedua opsi itu dikaji dalam studi oleh The SMERU Institute bertajuk ”Financing Higher Education in Indonesia: Assessing the Feasibility of an Income-Contingent Loan System”. Pada 29 Januari 2024, ketika isu mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT) muncul dan memicu protes mahasiswa di berbagai daerah, Kementerian Keuangan mengundang SMERU Institute untuk berkonsultasi.

Peneliti Senior The SMERU Institute, Asri Yusrina, Jumat (24/5/2024), mengatakan, sesuai hasil studi lembaganya, opsi yang diusulkan ke Kemenkeu saat itu adalah sistem pinjaman berbasis pendapatan atau ICL. Penerapan teknisnya bisa melalui pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau bekerja sama dengan pihak ketiga, seperti bank milik negara (Himbara).

”Memang, alternatifnya pembiayaan pendidikan tinggi itu harus di-support negara melalui APBN. Masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan ke universitas bisa mengambil pinjaman yang ringan dan bukan dari pinjol (pinjaman online). Skema ini sedang didiskusikan juga di Kemenkeu,” kata Asri saat dihubungi.

Berbeda dari skema mortgage, skema pinjaman berbasis pendapatan atau ICL dinilai lebih fleksibel dan tidak terlalu memberatkan mahasiswa setelah lulus. Negara-negara yang sudah menerapkan sistem ICL, antara lain, ialah Australia, Swedia, Inggris, dan Jerman.

Memang, alternatifnya pembiayaan pendidikan tinggi itu harus di-’support’negara melalui APBN.

ICL memiliki beban pembayaran cicilan yang lebih ringan dan fleksibel sehingga mengurangi potensi gagal bayar. Mahasiswa dari kelas menengah-bawah pun dapat melanjutkan pendidikan tinggi tanpa mengkhawatirkan beban pembayaran cicilan di masa depan. Ini karena besaran cicilan dan tenor pembayaran bisa disesuaikan dengan level pendapatan mahasiswa setelah lulus.

Meski demikian, menurut Asri, skema ini membutuhkan persiapan yang matang. Sebab, negara harus mampu mendeteksi dan menelusuri pendapatan seumur hidup peminjam (mahasiswa) untuk menentukan besaran dan tenor cicilan. Sistem pinjaman ICL membutuhkan penguatan sistem administrasi perpajakan.

”Kapasitas kantor pajak kita untuk menyelenggarakan sistem ini masih perlu ditelaah. Sebab, ini akan melibatkan kantor pajak dalam penagihan utang mengingat pembayaran pinjaman dipotong secara otomatis bersamaan dengan Pajak Penghasilan peminjam,” ujar Asri.

Pernah diterapkan

Pinjaman pendidikan bagi mahasiswa sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Mengutip laporan khusus oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), pada tahun 1982, di bawah pemerintahan Orde Baru, pinjaman serupa pernah berlaku dalam bentuk kredit mahasiswa Indonesia.

Kredit ini disalurkan bagi mahasiswa melalui sejumlah bank, seperti Bank Negara Indonesia (BNI) 46, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Ekspor-Impor Indonesia. Namun, kebijakan itu ditutup melalui Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/81/KEP/DIR/1990 tentang Penyempurnaan Sistem Perkreditan. Penyebabnya adalah kredit macet dan manajemen yang buruk.

Laporan itu menggarisbawahi, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan pemerintah agar pinjaman pendidikan tidak memunculkan gagal kredit di pasar sembari tetap memberi fasilitas bagi masyarakat. Serupa dengan SMERU, kajian oleh LPEM FEB UI juga mengusulkan skema pinjaman ICL dibandingkan dengan pinjaman berbasis mortgage untuk mengurangi potensi kredit macet.

Skema itu diyakini bisa berjalan baik mengingat ada kebijakan belanja wajib untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN setiap tahunnya. Dana abadi pendidikan di dalam APBN semestinya masih cukup untuk memberi pinjaman pendidikan.

”Lulusan yang di bawah standar rata-rata akan membayar angsuran pengembalian lebih rendah dengan tenor yang lebih panjang, serta kemungkinan mendapat pengampunan pinjaman setelah melewati jangka waktu tertentu,” kata peneliti LPEM FEB UI, Nauli A Desdiani.

Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan, cara lain untuk meringankan beban pinjaman bagi mahasiswa adalah dengan menerapkan tingkat suku bunga yang rendah, tidak seperti suku bunga konvensional yang diterapkan bank dan institusi keuangan lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *