Indonesia Berpotensi Defisit Beras Lagi pada Juni 2024 – Badan Pusat Statistik memperkirakan neraca produksi dan konsumsi beras nasional pada Juni 2024 akan defisit lagi setelah pada Maret, April, dan Mei 2024 surplus. Pemerintah perlu mewaspadainya dan mengoptimalkan serapan gabah atau beras untuk memperkuat cadangan beras pemerintah.
Kendati begitu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menjamin stok beras hingga akhir tahun ini aman, yakni sekitar 10,09 juta ton. Namun, stok sebesar itu baru dapat terpenuhi jika produksi dan impor beras sesuai perkiraan dan perencanaan.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri secara asiahoki77 hibrida di Jakarta, Senin (29/4/2024). Rapat yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian itu dihadiri perwakilan pemerintah daerah dan sejumlah pemangku kepentingan pangan.
Pelaksana Tugas Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, harga beras terus turun seiring panen raya padi pada Maret-April 2024. Per pekan keempat April 2024, harga rerata nasional berbagai jenis beras Rp 15.667 per kilogram (kg) atau turun 2,41 persen dibandingkan Maret 2024.
Penurunan harga beras itu diperkirakan terus berlanjut hingga Mei 2024 lantaran neraca produksi dan konsumsi beras pada bulan tersebut masih surplus. Hal itu melanjutkan surplus beras pada Maret-April 2024.
”Namun, pada Juni 2024, neraca tersebut berpotensi defisit karena produksi beras diperkirakan turun. Pemerintah perlu mewaspadai dan menyiapkan sejumlah langkah antisipasi karena harga beras bisa naik lagi,” ujarnya.
Berdasarkan hasil Kerangka Sampel Area BPS, neraca produksi dan konsumsi beras pada Maret-April 2024 surplus sebesar 3,78 juta ton. Surplus tersebut ditopang produksi beras sepanjang dua bulan tersebut sebanyak 8,46 juta ton.
Pada Mei 2024, neraca produksi-konsumsi beras diperkirakan masih surplus 0,62 juta ton. Kemudian, pada Juni 2024, defisit beras berpotensi terjadi lagi, yakni 0,45 juta ton.
Hal itu terjadi lantaran produksi padi berupa gabah kering giling (GKG) pascapanen raya semakin turun. Produksi GKG itu diperkirakan turun dari 5,54 juta ton pada Mei 2024 menjadi 3,68 juta ton pada Juni 2024.
BPS juga menunjukkan, pada semester I (Januari-Juni) 2024, Indonesia mengalami tiga kali surplus beras, yakni pada Maret, April, dan Mei. Adapun pada semester II-2023, surplus beras terjadi lima kali, yakni pada Februari, Maret, April, Mei, dan Juni. Surplus beras sepanjang semester I-2024 dibandingkan semester I-2023 juga turun dari 3,36 juta ton menjadi 1,03 juta ton.
Menanggapi hal itu, Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Rachmat menuturkan, setiap kalangan perlu memahami tren produksi padi di Indonesia. Ada masanya produksi padi mengalami surplus saat panen raya dan defisit pada musim-musim tertentu.
”Untuk itu, penyerapan gabah atau beras untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP) perlu dilakukan pada saat panen raya padi. CBP itu nantinya dapat digunakan saat musim defisit produksi padi terjadi,” tuturnya.
Rachmat menambahkan, serapan gabah atau beras itu bisa dioptimalkan juga pada panen padi Mei 2024. Ada beberapa daerah yang akan panen padi dengan areal panen yang masih cukup luas, seperti Jawa Barat seluas 225.044 hektar, Jawa Timur 140.860 hektar, Jawa Tengah 133,971 hektar, Lampung 99.309 hektar, dan Sumatera Selatan 27.434 hektar.
Dalam rapat itu, Tito juga menekankan pentingnya memperkuat CBP melalui serapan gabah dan beras di dalam negeri. Upaya tersebut sangat diperlukan mengingat ada potensi defisit beras pada Juni 2024 yang disebabkan penurunan produksi padi.
Apalagi, pada panen raya padi yang tengah berlangsung ini, banyak pedagang beras besar menyerap gabah secara besar-besaran dengan harga lebih tinggi. Perum Bulog juga kalah cepat dari mereka.
”Ini perlu diwaspadai karena beras itu bisa disimpan dan sewaktu-waktu dijual dengan harga lebih tinggi. Untuk itu, Bulog perlu meningkatkan serapan gabah atau beras untuk menambah CBP,” kata Tito.