Taksonomi Hijau Versi OJK – Sejumlah Pihak Pertanyakan Taksonomi Hijau Versi OJK. Kategori ”transisi” yang disematkan pada pembangkit listrik tenaga uap dalam taksonomi sektor keuangan dinilai kontraproduktif dengan upaya pemerintah mengejar target kontribusi nasional penurunan emisi.
Pengategorian ini berpotensi menimbulkan celah greenwashing dalam penyaluran pembiayaan hijau.
Pada Februari 2024, Otoritas Jasa nexwin77 Keuangan (OJK) menerbitkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Ini merupakan penyempurnaan atas dokumen Taksonomi Hijau Indonesia yang menjadi panduan pasar keuangan dalam menyalurkan pendanaan untuk mendukung pencapaian target kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) Indonesia.
Pengategorian ini berpotensi menimbulkan celah greenwashing dalam penyaluran pembiayaan hijau.
Seperti penggunaannya dalam istilah biologi, terminologi taksonomi dalam sektor keuangan berkelanjutan berfungsi sebagai pedoman klasifikasi aktivitas perekonomian yang mendukung, menuju (transisi), atau bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
TKBI memasukkan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), baik yang sudah beroperasi maupun yang dibangun sebelum penetapan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, ke dalam kategori transisi.
Terkait pengategorian tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, terdapat ketidaksamaan perlakuan antara PLTU dan pembangkit listrik di luar PLTU. Dalam TKBI, semua jenis proyek PLTU akan masuk ke dalam kategori transisi bila memenuhi persyaratan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan berkomitmen untuk pensiun selambatnya tahun 2050.
Sementara pembangkit listrik selain yang bersumber pada tenaga uap baru bisa masuk ke dalam kategori transisi jika menghasilkan emisi daur hidup pembangkit sebanyak 100-500 gram setara karbon dioksida per kWh.
Dalam TKBI, semua jenis proyek PLTU akan masuk ke dalam kategori transisi bila memenuhi persyaratan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan berkomitmen untuk pensiun selambatnya tahun 2050.
Di antaranya adalah pembangkit yang bersumber dari air, gas, dan panas bumi. Pembangkit listrik selain PLTU akan mendapat kategori hijau jika emisi daur hidup di bawah 100 gram setara karbon dioksida per kWh.
Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menilai, tidak adanya persyaratan penurunan emisi untuk PLTU berkategori transisi dalam TKBI disebabkan pemerintah masih enggan menjalankan program pensiun dini PLTU.
Jika indikator yang harus dipenuhi PLTU untuk mendapat klasifikasi transisi disamakan dengan pembangkit lainnya, dapat dipastikan tidak ada PLTU yang layak mendapat kategori transisi. Besarnya emisi operasional yang dihasilkan PLTU mencapai 900-1.200 gram setara karbon dioksida per kWh. Angka tersebut bisa lebih besar jika menghitung emisi daur hidup.
”Menyematkan label transisi ataupun hijau kepada PLTU hanya dengan indikator pengurangan emisi 35 persen setelah 10 tahun, bertentangan dengan komitmen untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius dan berusaha membatasinya hingga 1,5 derajat celsius,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Minggu (19/5/2024).
Jika ingin konsisten dengan upaya membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celsius, Deon melanjutkan, seharusnya penurunan emisi dari PLTU batubara nasional sudah mencapai puncak sebelum tahun 2030. Selanjutnya tren berlanjut hingga kemudian mendekati nol pada tahun 2040. Dengan begitu, sudah tidak ada lagi emisi yang dihasilkan dari PLTU pada 2045.
”Indikator yang dipakai untuk kategorisasi harusnya bisa memberi dukungan pembiayaan yang memungkinkan PLTU untuk mengurangi emisi sebelum tahun 2030 dan berhenti beroperasi sebelum 2045,” kata Deon, melanjutkan.
Selain itu, aktivitas pertambangan dan penggalian mineral yang mendukung industri transisi energi, seperti tembaga, nikel, dan timah, juga masuk dalam kategori transisi. Pelabelan ini belum disertai dengan keterangan yang jelas untuk memastikan bahwa semua kegiatan pertambangan dan penggalian secara konsisten mendukung transisi energi.
Hingga berita ini dipublikasikan, OJK masih enggan memberikan klarifikasi terkait perbedaan penetapan indikator transisi antara PLTU dan pembangkit lain dalam TKBI.