Defisit Investasi Energi Terbarukan Bikin Awet Pemanasan Global – Pertumbuhan nilai investasi di bidang energi terbarukan sepanjang tahun 2023 dianggap belum cukup untuk menekan laju peningkatan emisi karbon dunia. Selain karena jumlahnya yang minim, distribusi dana investasi hijau juga belum dialirkan secara merata.
Berdasarkan laporan REN21, sebuah komunitas energi terbarukan global yang terdiri dari akademisi, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan industri, secara keseluruhan sepanjang tahun 2023, terdapat lebih dari 622,5 miliar dollar AS investasi baru disalurkan ke bidang energi terbarukan dan bahan bakar.
Padahal, untuk menekan kenaikan rata-rata suhu permukaan Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celsius, sesuai topgaming77 Perjanjian Paris 2015, REN21 mengalkulasi dibutuhkan besaran investasi untuk sektor energi terbarukan sebesar 1,3 triliun-1,35 triliun dollar AS per tahun hingga 2030.
Laporan tahunan tersebut juga menunjukkan kapasitas energi terbarukan global pada tahun ini mencapai rekor 473 gigawatt, meningkat 36 persen dari 2022. Kendati demikian, laju pertumbuhan energi terbarukan belum mampu mengejar permintaan energi dunia yang juga melonjak.
Salah satu penyebabnya adalah karena aliran investasi pada energi terbarukan tidak terdistribusi secara merata. Berdasarkan data persebaran laporan REN21, sebanyak 44 persen aliran dana investasi mengalir ke kawasan Asia Timur, 26 persen ke kawasan Eropa, dan kurang dari 4 persen yang mengalir ke Afrika dan Timur Tengah.
Kondisi ini menyebabkan negara-negara miskin mengeluarkan biaya lebih besar untuk menyediakan pasokan energi ramah lingkungan. ”Biaya modal rata-rata untuk proyek-proyek energi terbarukan di negara berkembang bisa lebih dari dua kali lipat biaya modal untuk energi terbarukan di negara-negara maju,” ujar Direktur Eksekutif REN21 Rana Adib, dikutip dari AP, Sabtu (27/4/2024).
Pada saat yang sama, di negara-negara berkembang, dana publik atau anggaran belanja negara terus mengalir ke bahan bakar fosil dalam bentuk subsidi. Terdapat juga sekitar 20 persen pembiayaan proyek energi dari negara-negara donor dan bank pembangunan multilateral yang disalurkan ke sumber-sumber tak terbarukan.
Pada saat negara maju menikmati energi terbarukan, negara-negara berkembang cenderung melakukan ekonomi ekstraktif dengan mengorbankan sumber daya alam.
Kondisi tersebut sejalan dengan laporan terbaru International Energy Agency (IEA) juga menunjukkan penerapan energi ramah lingkungan masih terlalu terkonsentrasi di negara-negara maju.
Di saat produksi emisi karbon dioksida terkait penggunaan energi fosil global sepanjang 2023 mencapai 37,4 gigaton, atau meningkat 1,1 persen dibandingkan 2022, negara-negara maju mengalami rekor penurunan emisi karbon dioksida pada tahun 2023, bahkan ketika produk domestik bruto (PDB) mereka meningkat.
Emisi yang dihasilkan Uni Eropa terpangkas 7,4 persen pada 2023 karena menurunnya penggunaan bahan bakar fosil. Sementara itu, emisi karbon dioksida yang dihasilkan Amerika Serikat tahun lalu turun 1,9 persen.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengatakan, penurunan emisi di negara maju didorong oleh kombinasi penggunaan energi terbarukan yang kuat, peralihan batubara ke gas, peningkatan efisiensi energi, dan penurunan produksi industri.
”Emisi yang dihasilkan negara maju turun ke titik terendah dalam 50 tahun, sementara permintaan batubara turun kembali ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak awal 1900-an,” kata Birol.
”Tahun lalu menjadi tahun pertama di mana setidaknya separuh pembangkitan listrik di negara maju berasal dari sumber rendah emisi seperti energi terbarukan dan nuklir,” lanjutnya.
Sementara itu, di India, pertumbuhan PDB yang kuat di negara tersebut turut meningkatkan emisi sekitar 190 juta ton pada 2023 atau 0,5 persen dari total emisi karbon dunia.
Musim hujan yang sangat terbatas di India pada tahun lalu telah meningkatkan permintaan listrik dan mengurangi produksi pembangkit listrik tenaga air sehingga menyumbang seperempat peningkatan total emisi India.
Menurut Birol, untuk mengejar pemerataan diperlukan upaya internasional yang lebih besar guna meningkatkan investasi dan penerapan energi ramah lingkungan di negara-negara berkembang. ”Dunia memerlukan upaya yang jauh lebih besar untuk memungkinkan negara-negara berkembang meningkatkan investasi energi ramah lingkungan,” ucapnya.