Mengejar Lowongan Kerja – Mengejar Lowongan Kerja: 300 Kali Berharap, 300 Kali Kecewa. Farikh Auladana (23) terlihat berpindah dari satu stan ke stan lain, mencari kesempatan yang bisa mengantarkannya pada awal karier yang diidamkan.
Berbekal ijazah sarjana yang baru diterimanya Februari 2024, ia tampak serius di setiap stan yang didatangi, dari venetian89 perusahaan teknologi hingga manufaktur sepeda motor.
Ia tidak pilih-pilih karena berharap dapat cepat berkarier di bidang sumber daya manusia. Total ia mengunjungi 11 perusahaan yang berpartisipasi dalam acara UMN Career Day, bursa kerja yang diselenggarakan Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, Selasa (7/5/2024).
Selama tiga bulan setelah lulus, ia telah mengajukan lamaran ke lebih dari 100 posisi melalui platform pencari kerja, seperti kalibrr.id. ”Saya mencari posisi di human resource development,” tutur Farikh.
Sejauh ini, hanya satu perusahaan, sebuah firma broker perdagangan komoditas, yang memanggil untuk wawancara. Meskipun sulit untuk sampai tahap itu, Farikh menuruti saran orangtua untuk tidak melanjutkan proses di firma tersebut. Saat itu sedang heboh pemberitaan mengenai perusahaan serupa yang menipu investornya.
Menurut Farikh, melamar kerja butuh dedikasi khusus. Untuk itu, ia mempersiapkan diri dengan serius untuk mengantisipasi panggilan tes seleksi dan wawancara.
Seperti Farikh, Elisa Fransiska (26) juga sedang mencari kerja. Sudah tiga tahun ini ia menganggur. Bukannya ia hanya berpangku tangan menunggu nasib. Sejak lulus S-1 Ilmu Komunikasi di sebuah sekolah tinggi di Jakarta tiga tahun lalu, sedikitnya sudah 300 lamaran ia kirimkan, dan 300 kali pula ia terempas kecewa. Belum ada lamarannya yang tembus. Paling mentok dipanggil wawancara. Sayang, tidak ada kelanjutannya lagi.
”Pernah juga saat wawancara diminta meninggalkan ijazah. Tidak masuk akal, kontrak juga tidak jelas,” kata Elisa yang memilih melepas tawaran kerja itu.
Elisa bukan tanpa pengalaman kerja sama sekali. Sebelum menyandang gelar sarjana, ia pernah bekerja lepas (freelance) dan terlibat beberapa proyek. Tetap saja, pekerjaan impian belum juga tergapai.
Sambil menunggu dapat pekerjaan tetap, Elisa yang tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ini meningkatkan keterampilan dengan fasilitas Dana Prakerja. Di sela-sela itu, ia belajar kerajinan tangan. Untuk menopang pengeluarannya, Elisa bekerja serabutan, seperti menjadi petugas data entry, penjaga pameran dan stan makanan, atau membantu tim acara.
Saat ini, ia tengah menjadi admin empat rumah kos di daerah Grogol, Jakarta Barat, dengan bayaran Rp 2,5 juta per bulan. Pekerjaan ini didapat dari iklan media sosial.
Dari Senin hingga Sabtu pukul 09.00-17.00, Elisa harus berada di salah satu rumah kos untuk membalas pesan penyewa, mengecek ketersediaan kamar kos, dan mencatat masukan pelanggan. Ia juga bertugas mengingatkan penyewa akan tagihan yang jatuh tempo. ”Lumayan untuk ngisi waktu,” ujar Elisa.
Tidak diizinkan
Ratusan lamaran juga sudah dikirimkan Aulia (22), lulusan jurusan psikologi sebuah universitas swasta di Bekasi, Jawa Barat. Tidak kurang dari 250 lamaran ia kirimkan sejak lulus pada pertengahan 2023. Hampir setahun ia benar-benar menganggur.
Dari 250-an lamaran, ada 5-7 perusahaan yang merespons hingga proses wawancara. Bahkan ada satu yang sampai proses penawaran kerja sebagai anggota staf sumber daya manusia, tetapi terpaksa ia tolak. ”Ayah tidak mengizinkan karena aku harus ngekos di dekat kantor di Jakarta Utara,” kata Aulia.
Pernah pula ia sudah sampai mengikuti pelatihan staf penjualan sebuah bank BUMN, tetapi kembali ia batalkan karena lokasinya jauh. Aulia mengaku sebenarnya tidak pilih-pilih soal pekerjaan. Posisi apa pun tidak ia permasalahkan. Namun, belum ada lagi tawaran pekerjaan.
Beruntung ayahnya tetap mendukung dan tidak memburu-burunya untuk dapat pekerjaan. Hanya beberapa tetangganya saja yang terkadang kepo, bertanya apakah ia sudah bekerja. Saat Lebaran lalu, ia juga tidak luput dari omongan neneknya yang mempermasalahkan dirinya yang belum juga dapat kerja.
Ia menduga ketiadaan pengalaman kerja membuat lamarannya jarang direspons. Saat kuliah, ia juga tidak sempat ikut magang kerja karena kampusnya kurang memfasilitasi. Ia juga tidak ikut organisasi mahasiswa yang kemudian ia sadari hal itu dapat membantu keterampilannya dalam berkomunikasi.